TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia mengecam putusan hakim Mahkamah Agung terhadap para terpidana kasus peredaran narkoba, yang mengubah hukuman mati menjadi sanksi bui seumur hidup maupun pengurangan hukuman penjara 12 dan 15 tahun. "Kami khawatir vonis itu mendorong peningkatan peredaran narkoba dan menambah jumlah korban dan kerusakan bangsa," kata Koordinator Ketua Harian MUI Ma'ruf Amin di Jakarta, Kamis, 18 Oktober 2012.
Ma'ruf mengatakan lembaganya menyayangkan putusan hakim MA terhadap para gembong narkoba. Menurut dia, vonis hakim agung telah merusak komitmen negara dalam memberantas narkoba. Apalagi narkoba dinilai sebagai salah satu kejahatan luar biasa, selain korupsi dan terorisme, yang tidak bisa diselesaikan dengan tindakan hukum yang normal.
Ma'ruf menilai hukuman mati layak diterapkan untuk pelaku kejahatan luar biasa. Dalam Islam, hukuman mati diperbolehkan sebagai solusi mengembalikan ketertiban masyarakat dan menciptakan efek jera.
Ma'ruf menjelaskan, hukuman mati diperbolehkan hukum Indonesia. Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam uji materi salah satu UU sudah menegaskan hukuman mati tak dilarang. "Artinya, hukuman mati di Indonesia itu konstitusional. Kalau putusan hakim MA menyatakan hukuman mati bertentangan dengan HAM, saya rasa itu tidak tepat," ujarnya.
Hakim MA sebelumnya membatalkan vonis mati dengan dalih hukuman tersebut melanggar hak asasi manusia. Komisi Yudisial saat ini tengah memeriksa tim hakim dan panitera pemberi vonis terpidana narkoba, yakni Imron Anwari, Achmad Yamamie, Nyak Pha, Timur Manurung dan Suwardi. Majelis Hakim itu menganulir hukuman mati warga Nigeria, Hillary K Chimezie yang ditangkap atas kepemilikan sebanyak 5,8 kilogram heroin. Mahkamah Agung membatalkan hukuman mati dan menjatuhkan hukuman penjara selama 12 tahun.
Mereka juga membebaskan pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan dari hukuman mati dengan memberikan vonis hukuman penjara selama 15 tahun. Dasar penganuliran hukuman mati ini ialah Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
ISMA SAVITRI