TEMPO.CO, Surabaya – Sekretaris Jenderal Perkumpulan Petani Garam Indonesia Sarli mengatakan seluruh petani garam di Indonesia mendesak presiden terpilih Jokowi untuk merevisi kebijakan tentang pergaraman di Indonesia yang dikelola oleh tiga kementerian sekaligus, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
"Kami desak Jokowi supaya kebijakan pergaraman ini dikelola melalui satu pintu," kata Sarli saat jumpa pers di satu rumah makan di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 18 September 2014.
Desakan itu menyusul pertemuan yang digelar Perkumpulan Petani Garam Indonesia di Pondok Pesantren Annuqayah, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, pada 15-18 September 2014. Acara tersebut dihadiri oleh sebelas kelompok petani garam dari sebelas sentra produksi garam kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mereka bermusyawarah dan mengadakan pertemuan lokakarya terkait tindak lanjut nasib mereka di masa depan.
Menurut Sarli, kebijakan dari tiga kementerian ini dapat menimbulkan efek negatif yang berakibat pada koordinasi tentang perizinan impor garam dari berbagai negara. Padahal, hasil produksi petani garam di Indonesia tidak terlalu parah dan bisa menyaingi garam impor. "Sehingga kami sepakat menolak garam impor," kata dia. (Baca: Produksi Garam Rakyat Semakin Tergencet )
Indonesia, kata dia, merupakan negeri yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia sehingga sangat tidak pantas jika garam impor terus membanjiri pasar dalam negeri dan menyengsarakan petani garam nasional.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang ikut memantau perkembangan pergaraman Indonesia, Abdul Halim, mengatakan garam adalah komoditas strategis bangsa Indonesia. Maka bila pemerintah membuka keran impor dengan mengabaikan partisipasi petambak garam nasional hanya akan berakibat pada bergantungnya bangsa Indonesia kepada bangsa lain.
"Padahal, garam itu sebagai salah satu komoditas pangan yang menjadi tombak hidup dan matinya sebuah bangsa," kata Halim. (Baca:SBY Janjikan Solusi untuk Petani Garam Madura)
Abdul Halim menjelaskan data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2013 menyebut impor garam berasal dari Australia sebesar 128,7 ribu ton atau US$ 5,73 juta, Selandia Baru 143 ton atau US$ 60,3 juta, Jerman 35 ton atau US$ 26,8 ribu, Denmark 44 ton atau US$ 17 ribu dan negara lainnya dengan total 124 ton atau US$ 26 ribu.
Sedangkan pusat data dan Informasi KIARA pada Agustus 2013 menemukan fakta produksi garam nasional mengalami kenaikan. Dari tahun 2011 sebesar 1,621,594 ton menjadi 2,473,716 ton pada tahun 2012. "Kenaikan ini mestinya harus menutup keran impor," kata dia.(Baca:Pemerintah Diimbau Kawal Harga Garam Petani)
Di saat yang sama, kata Halim, pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tambak garam. Tidak hanya semata mengurusi produksi, melainkan teknologi, pengolahan, dan pemasarannya. "Ini yang lebih penting."
MOHAMMAD SYARRAFAH
Baca juga:
Jadi Menteri Jokowi, Gerindra: Insya Allah Kami Tolak
Mitsubishi Delica Meluncur, Harganya Rp 409 juta
Pinokio, Panggilan Sinis Anas ke Nazaruddin
Warsi Nilai Pemerintah Menekan Orang Rimba
Pilkada oleh DPRD, Lembaga Survei Terancam Tutup