Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Blunder Kejaksaan Agung dan Departemen Pendidikan Nasional

image-gnews
Iklan
Sejak 5 Maret 2007, Kejaksaan Agung melarang beberapa buku pelajaran sejarah di sekolah. Terdapat 13 judul buku dari 10 penerbit yang dilarang, antara lain Yudhistira, Erlangga, Grasindo, Ganeca Exact, Esis, dan Galaksi Puspa Mega. Yang dilarang di antaranya Kronik Sejarah Kelas I SMP (karangan Anwar Kurnia, diterbitkan Yudhistira), Pengetahuan Sosial, Sejarah 1 (susunan Tugiyono K.S., penerbit Grasindo), Sejarah Kelas II SMP dan Sejarah Kelas III SMP (karangan Matroji, penerbit Erlangga). Demikian diberitakan Indo Pos, 10 Maret 2007.Sejak 2006, Direktorat Sosial Politik Kejaksaan Agung meneliti buku sejarah terkait dengan peristiwa politik di Indonesia pada 1965. Bahkan Kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional yang lama (Dr Siskandar) dan yang baru (Diah Harianti) diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Hal itu dilakukan atas dasar permintaan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada 5 Juli 2005 (Kompas, 10 Maret 2007).Alasan pelaranganDalam konferensi pers pada 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Muchtar Arifin menyampaikan alasan pelarangan buku-buku tersebut, "Antara lain tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan hanya menulis keterlibatan G-30-S tanpa menyebut PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1965." Menurut Muchtar, "Ini jelas memutarbalikkan fakta dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa." Apabila buku sejarah itu dibiarkan beredar, dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban umum. Tidak hanya peredarannya yang dilarang, tapi juga proses pengadaannya. Surat Keputusan Kejaksaan Agung itu pun "mewajibkan kejaksaan, kepolisian, dan alat negara lain yang berwenang menjaga ketertiban menyita buku-buku teks sejarah tersebut".Tidak berdasarAlasan pelarangan Kejaksaan Agung itu tidak memiliki dasar. Buku Kronik Sejarah Kelas I (Anwar Kurnia, penerbit Yudhistira) tentu saja tidak memuat pemberontakan pada 1948 dan 1965. Sebab, pelajaran sejarah pada kelas I sekolah menengah pertama memang belum sampai pada periode kontemporer, tapi membahas kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipengaruhi Hindu, Buddha, dan Islam. Pada kelas II SMP dijelaskan soal perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dan baru pada kelas III SMP diuraikan perkembangan sejak Indonesia merdeka.Jika dilihat buku untuk kelas III yang ditulis oleh pengarang dan penerbit yang sama, alasan pelarangan Kejaksaan Agung itu juga keliru. Di situ terdapat uraian mengenai "pemberontakan PKI di Madiun (18 September 1948)" pada halaman 59. Walaupun menggunakan istilah "Gerakan 30 September tahun 1965", buku ini dengan tegas mengatakan itu pemberontakan PKI. Bahkan dicantumkan sepanjang satu halaman penuh kesaksian polisi Sukitman di Lubang Buaya tentang "kekejaman pemberontak".Di dalam buku Sejarah SMP Kelas III (Matroji, penerbit Erlangga) juga dimuat pemberontakan PKI Madiun 1948. Walaupun ditulis "G-30-S", pada buku ini juga ditegaskan "dalam perkembangan berikutnya, timbul kesimpulan bahwa G-30-S itu didalangi oleh PKI" (halaman 109).Demikian pula pelarangan buku Pengetahuan Sosial, Sejarah karangan Tugiyono K.S. (Grasindo) untuk kelas I SMP tidak tepat. Pada buku kelas III SMP terdapat uraian mengenai pemberontakan PKI di Madiun (halaman 68 dan 69) dan 1965 (halaman 94-99). Di dalam buku ini dipakai istilah G-30-S/PKI. Jadi sepenuhnya masih menggunakan versi Orde Baru. Lalu kenapa dilarang Kejaksaan Agung?Gara-gara Departemen Pendidikan NasionalKasus ini bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah. Hal itu untuk menindaklanjuti laporan beberapa tokoh, seperti Jusuf Hasyim (almarhum) dan Taufiq Ismail, kepada Dewan Perwakilan Rakyat bahwa di Jawa Timur ditemukan buku pelajaran sejarah yang tidak memuat pemberontakan Madiun 1948. Ketua DPR kemudian mengundang Menteri Pendidikan Nasional dan menanyakan hal ini. Persoalan ini kemudian dibahas dalam Rakor Kesejahteraan Rakyat yang dipimpin oleh Aburizal Bakri. Setelah itu, baru bergulir ke Kejaksaan Agung.Kalau ada sebuah buku yang dianggap keliru, seyogianya buku itu saja yang diteliti, bukan semua buku pelajaran sejarah di seluruh Indonesia. Sebetulnya, Menteri Pendidikan Nasional dapat menanyakan langsung kepada bawahannya pada Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan masalah itu. Tapi Menteri Pendidikan Nasional justru meminta Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengatasi persoalan ini. Maka dibentuklah sebuah tim yang diketuai Djoko Suryo (dari Universitas Gadjah Mada) dan beranggotakan Hamid Hasan (UPI Bandung), Susanto Zuhdi (Kementerian Budaya dan Pariwisata), Wasino (Universitas Negeri Semarang), dan W. Soetomo. Soetomo memimpin sekolah pariwisata di Semarang dan ipar dari Jenderal Sarwo Edhi.Berdasarkan hasil tim di atas, BSNP menulis surat kepada Menteri Pendidikan Nasional, yang menyimpulkan bahwa "perlu memasukkan ke dalam pendidikan sejarah peristiwa PKI Madiun pada 1948 dan mencantumkan kata "PKI" setelah "peristiwa G-30-S" sehingga menjadi G-30-S/PKI". Surat BSNP 088/BSNP/I/2006 tertanggal 23 Januari 2006 itu ditandatangani oleh ketuanya, Bambang Soehendro.Padahal, dalam uji publik kurikulum yang diselenggarakan tim tersebut pada 1 Desember 2005 di gedung Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, saya telah menyampaikan bahwa gerakan yang melakukan kudeta pada 1965 menyebut diri mereka secara eksplisit dan tertulis sebagai Gerakan 30 September. Seyogianya istilah yang lebih obyektif ini digunakan, karena memang ada berbagai versi tentang dalang peristiwa itu (PKI, elite PKI, masalah intern Angkatan Darat, CIA, Soekarno, dan Soeharto). Dengan keputusan BSNP itu, muncul kembali kontroversi sejarah.Bukan hanya itu, BNSP juga menyodorkan perubahan kurikulum. Padahal perbaikan sebelumnya, dari kurikulum 1994 (direvisi 1999) kemudian menjadi kurikulum 2004 sudah merupakan proses yang panjang dan melibatkan semua stakeholder bidang pendidikan. Untuk mengganti kurikulum 1994 yang dianggap oleh guru-guru terlalu sarat muatan, kurikulum berbasis kompetensi telah diuji coba di sekolah-sekolah sejak 2002. Kurikulum ini kemudian diganti penyebutannya menjadi kurikulum 2004 sebagaimana panduan yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada 2003 (yang diberi kata pengantar oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional).Panduan itu telah diedarkan ke sekolah-sekolah dalam bentuk buku dan disket. Kenapa kurikulum 2004 ini tiba-tiba diubah menjadi kurikulum 2006? Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 menetapkan kurikulum 2006, yang disebut kurikulum untuk tingkat satuan pendidikan. Pada kurikulum yang terakhir ini, materi dan indikator dihilangkan. Ini membingungkan guru, karena bahan yang diajarkan dan cara mengujinya terserah kepada guru. Jawaban dari Departemen Pendidikan Nasional, kalau guru kurang paham, mereka akan membantu. Tapi apakah departemen sanggup melayani ratusan ribu sekolah di seluruh pelosok Tanah Air.Kasus pelarangan buku pelajaran sejarah itu memperlihatkan bahwa Kejaksaan Agung dan juga Departemen Pendidikan Nasional tidak bertindak profesional.Asvi Warman Adam, AHLI SEJARAH
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

21 November 2023

Salah seorang pedagang menunjukan jenis beras sentra ramos di Pasar Tanah Merah Mutiara Gading Timur, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, 19 Mei 2015. Beras yang berasal dari Karawang dengan merk sentra ramos diduga merupakan beras bercampur bahan sintetis. ANTARA FOTO
Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

Mengonsumsi nasi atau beras merah saat ini dianggap menjadi sebuah solusi saat menjalani gaya hidup sehat.


Seragam Khusus Koruptor

13 Agustus 2008

Seragam Khusus Koruptor

Ide Komisi Pemberantasan Korupsi tentang seragam khusus dan memborgol koruptor baru-baru ini telah menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan masyarakat.


Presiden Kaum Muda

1 Agustus 2008

Presiden Kaum Muda

Kini semakin banyak muncul calon presiden di republik ini. Rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kalau menurut ukuran Komite Nasional Pemuda Indonesia, usia itu termasuk tua.


SOS Sektor Ketenagalistrikan

16 Juli 2008

SOS Sektor Ketenagalistrikan

Berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah, selain tidak kondusif untuk mengembangkan ketenagalistrikan secara sehat, bahkan, dalam banyak hal, justru bersifat destruktif terhadap sektor ketenagalistrikan itu sendiri.


Membersihkan Korupsi Kejaksaan

2 Juli 2008

Membersihkan Korupsi Kejaksaan

Bukti rekaman antara Artalyta Suryani dan pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sungguh memukul dan membuat kecewa seluruh jajaran korps Adhiyaksa.


Urgensi Hak Angket BBM

27 Juni 2008

Urgensi Hak Angket BBM

Sesuai dengan Pasal 20-A UUD 1945 ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.


Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

18 Juni 2008

Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

Setelah sembilan tahun reformasi, adakah pers kita sudah lebih dewasa? Sebagai Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar yang baru (menggantikan Bapak Jakob Oetama), saya harus banyak bertemu dengan tokoh pers dan keliling daerah se-Indonesia.


Mengkorupsi Bea dan Cukai

7 Juni 2008

Mengkorupsi Bea dan Cukai

Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008.


Menggali Jejak Kebangkitan

21 Mei 2008

Menggali Jejak Kebangkitan

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan.


Gagalnya Manajemen Perparkiran

9 Mei 2008

Gagalnya Manajemen Perparkiran

Di tengah kegelisahan masyarakat atas melambungnya berbagai harga bahan kebutuhan pokok dan kenaikan harga bahan bakar minyak, Pemerintah DKI Jakarta justru menyeruak dengan kebijakan yang rada ganjil: menggembok mobil.