TEMPO Interaktif, Jakarta: Ginekolog itu kaget. Dokter yang tak lagi berambut itu tiba-tiba berubah peran menjadi pendeta. Sederet ayat ia bacakan bagi pasiennya. Ia menceramahi perempuan itu agar tak terjebak bujukan setan.
Padahal si pasien hanya datang untuk memeriksakan organ reproduksinya. Ia mendaftar tes pap-smear. Status lajangnya rupanya menghambat. Dokter tak mau mengetes mereka yang perawan. Saat si pasien mengaku aktif secara seksual, ahli medis malah memberi kuliah agama.
Adegan nyata itu direkam dengan kamera tersembunyi. Lucky Kuswandi, sang sutradara, hendak menunjukkan betapa sulitnya perempuan lajang ketika menemui ginekolog. Dari pertanyaan "Nona atau Nyonya?" hingga kuliah moral.
Karya Lucky, Nona atau Nyonya?, satu dari empat bagian film dalam antologi dokumenter berjudul Pertaruhan dari Kalyana Shira Films. Semuanya mendokumentasikan betapa perempuan Indonesia masih dipinggirkan.
Bagian pertama film ini digarap sutradara Ani Ema Susanti, Mengusahakan Cinta. Ini cerita tentang Ruwati dan Ryan, tenaga kerja wanita di Hong Kong. Ruwati mengidap tumor indung telur. Calon suaminya di kampung resah karena operasi bisa merusak selaput dara.
Sementara itu, Ryan adalah TKW yang lari dari penindasan suami yang menceraikannya. "Daripada diperbudak, mending jadi budak di luar negeri. Aku dapat gaji," tutur Ryan. Di Hong Kong, ia menemukan cintanya yang baru. Kali ini dari jenis kelamin yang sama.
Bagian selanjutnya adalah Sunat, garapan sutradara Iwan Setiawan dan Muhammad Ichsan. Mereka mendokumentasikan praktek tradisional sunat perempuan. Mereka yang pernah disunat diwawancara. Pendapat ahli medis dan ahli agama pun dimintai pendapat.
Ada bagian saat Nong Darul Mahmada, aktivis perempuan, menanyai bekas presiden Abdurrahman Wahid soal sunat perempuan itu. "Dalam Islam tak ada itu. Hanya tradisi di Indonesia," Gus Dur menjawab.
Menurut Iwan, seorang tokoh dalam filmnya semula tak diizinkan suami untuk diwawancara. "Kami tidak memaksa. Tapi dia akhirnya menghubungi dan bersedia diwawancara," ujar Iwan seusai pemutaran filmnya, Rabu lalu.
Ucu Agustin menggarap bagian terakhir. Ia datang ke daerah Tulungagung. Di sana ada kompleks pekuburan Tionghoa di Gunung Bolo. Malam harinya, pekuburan ini menjadi daerah pelacuran. Tarifnya Rp 10 ribu.
Tokoh sentralnya adalah Mira, ibu sejumlah anak. Siang hari, ia menjadi buruh pemecah batu. Malamnya menjadi pelacur. Para preman penunggu kuburan juga ditampilkan. Mereka biasa memalaki pelacur sekaligus menidurinya dengan gratis.
Awalnya Ucu bingung bagaimana mengangkat kisah mereka. "Mereka harus di-wong-kan," ujarnya mengingat pesan produser Nia Dinata. Demi merasakan empati, Ucu pun duduk, ikut memecah batu. Ia juga menongkrongi kuburan hingga didatangi pria yang menawarnya di atas harga pasar, Rp 15 ribu.
Keempat karya ini adalah pemenang workshop yang diselenggarakan sebelumnya. Dari sejumlah naskah bertema perempuan, empat naskah ini memenangi kontes. Oleh sponsor The Body Shop, para sutradara didanai mewujudkan film dokumenter mereka.
Setelah diputar di jaringan bioskop Blitz di Jakarta dan Bandung, kata Nia Dinata, film ini akan dibawa berkeliling sekolah dan kampus. "Kami juga terbuka dengan undangan kampus mana pun," ujarnya. Pertaruhan pertama kali diputar di ajang JiFFest 2008.
Film ini diharapkan bisa mendorong penontonnya untuk bertindak, setelah menyadari urgensi wacana yang diangkat. "Semoga yang menonton tersentuh karena kami yang membuat pun tersentuh," ujar Nia Dinata.
IBNU RUSYDI