TEMPO Interaktif, Bandung:Di atas kanvas berlumur lem kayu, lelaki bersarung itu telungkup. Kepalanya tertutup kaus oblong putih. Ia tak berbaju. Delapan bilah arit mengelilingi tubuhnya. Belasan pemburu berita dan fotografer mengelilingi. Sinar lampu kilat menjilat-jilat tubuhnya. Dua pembantu pria dan wanita lalu menaburkan bubuk arang hitam dan merah ke seluruh bagian kanvas yang tersisa.
Beberapa saat kemudian, si pria bersarung tanpa baju itu tiba-tiba bangun. Ia lalu membuka kaus yang menutup seluruh wajah dan rambut gondrongnya. "Karya ini untuk 11 korban tragedi di gedung AACC Februari lalu, do'a untuk mereka" kata pria bersarung itu. Yang dimaksudnya adalah peristiwa kericuhan konser musik underground di gedung Asia-Africa Cultural Center Bandung pada 9 Februari lalu, yang menewaskan 11 penonton remaja.
Itulah aksi seniman Tisna Sanjaya, pria bersarung itu, seusai acara rilis pers tentang pameran tunggal yang akan digelarnya di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur Nomor 14, Jakarta, mulai 18 hingga 31 Desember.
Di bawah tajuk "Ideocracy: Rethinking the Regime of Etching", Tisna akan menampilkan sekitar 130-an karya sejak tahun 80-an hingga yang terbaru, terdiri dari karya grafis, lukisan, master plate, instalasi, dan drawing.
"Ini pameran tunggal dengan jumlah karya terbesar yang pernah saya lakukan,"kata Tisna saat jumpa pers di studio pribadinya di aula bekas sebuah barak tentara di Jalan Setiabudi Bandung, Minggu (14/12).
Baca Juga:
Salah satu karya yang akan ditampilkan di Galeri Nasional adalah "Tubuh Lima Waktu'. Karya di atas beberapa kanvas dengan 'cat' lumpur asli dari lokasi kampung yang terendam lumpur Lapindo di Sidoarjo itu menggambarkan sosok dengan posisi tubuh sedang sholat.
"Cara melukisnya saya telanjang, seluruh tubuh dilumuri lumpur Lapindo lalu saya tengkurap di atas kanvas,"kata Tisna.
Karya lainnya adalah "Amnesia Kultural" yang terdiri 14 kanvas besar. Bahannya atara lain adalah kanvas dari kain loreng hijau tentara dan arang hitam. Cara melukisnya hampir sama dengan dengan lukisan untuk para korban tragedi AACC.
"Karya ini tentang betapa mudahnya kita melupakan 32 tahun kekerasan rezim militeristik Suharto,"ucanya.
Di Galeri Nasional nanti, Tisna akan menggelar performing art. Medianya adalah patung dari bahan gedebok pisang, bambu, dan arit. Patung sosok manusia itu ditulisi 99 nama Allah atau Asmaulhusna.
Rencananya, Tisna akan membacok-bacok patung dari gedebok pisang itu sambil meneriakkan Tuhan. Lewat aksi itu Tisna ingin mengeritik fenomena kekerasan atas nama agama dan saling klaim antar kelompok yang masing-masing mengaku 'paling benar' atas nama Tuhan.
"Saling rebutan Tuhan,"katanya. Karya tersebut akan dipajang hingga pameran usai di akhir tahun. "Sampai gedeboknya busuk, berulat,"ujarnya.
Tisna Sanjaya adalah seniman asal Bandung yang dikenal acap menciptakan karya seni kontemporer bertema kritik sosial dan lingkungan.
Dosen Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini belakangan kerap menggunakan bahan arang, abu sisa peristiwa kebakaran, tanah, aspal, lumpur, air selokan, barang sisa, sampah, dan sebagainya. "Benda-benda terpinggirkan yang ada di lingkungan kita," katanya.
Dalam beberapa karya terakhir yang akan dipamerkan nanti, Tisna juga mulai menggunakan media baru, yakni arit. Arit adalah perkakas untuk menyabit rumput. "Arit itu lambang rakyat yang terpinggirkan modernisasi,"tandasnya.
Pameran yang dikuratori Jim Supangkat dan Rizki A. Zaelani itu rencananya dibuka oleh budayawan Goenawan Mohamad pada Kamis (18/12) malam pukul 19.30 WIB.
Erick P. Hardi