Sebelumnya Gubernur Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata meminta seniman Tari Jaipong agar mentas dengan meninggalkan kemben. Lengak goyang, gitek, dan geolnya pun diminta diperhalus.
Mas Nanu mengatakan, meski hanya berupa himbauan, tapi dikhawatirkannya di level bawah birokrasi akan diterjemahkan sebagai keharusan. Dan jika itu terjadi, lanjutnya, ini berarti pemasungan kreatifitas.
Baca Juga:
Karenanya, Mas Nanu menyarankan, sebaiknya jika Gubernur risih dengan Tari Jaipong yang ada saat ini, pemerintah membuat tari itu versi sendiri. Ini pernah dilakukan Keraton Jogja yang menciptakan Tari Jaipong versinya. Tari untuk kalangan itu, paparnya, lahir karena estetika Jaipongan tidak sejalan dengan nilai-nilai keraton.
Dia mengatakan, larangan hampir sama pernah teradi pada era 80-an. Saat Jawa Barat dipimpin oleh Gubernur Aang Khunaefi, Tari Jaipong sempat dilarang. Nanu ingat, saat itu goyang Jaipong populer bersamaan dengan booming lagu Daun Pulus. “Saat itu yang risih bukan pejabat, tapi ibu-ibu pejabatnya,” katanya.
Di era itu, Nanu mengalami bagaimana Tari Jaipong coba digubah dengan meminimilasir goyang, gitek, dan geolnya. Pentasnya adalah pesta pernikahan putra Adam Malik di Istana Bogor.
Kala itu Jawa Barat diminta menyumbangkan Tari Jaipong untuk pesta itu. Nandang Permaya, koreografernya menyusun Tari Jaipong di tengah situasi itu. Nanu menjadi satu dari 50 penari yang membawakannya. Setelah berlatih rutin di Gedung Sate, sebelum pentas tari itu diminta ditunjukkan di Gedung Pakuan, di depan Aang.
Melihat tari itu, gubernur protes. “Geuning euweuh gitek goyangna.” Setelah diceritakan duduk soalnya, ternyata dia tak pernah melarang goyang Jaipong. “Itu bawahannya.”
Di situasi itu, paparnya, seniman senior Gugum Gumbira pernah mencoba menyusun koreografi Tari Jaipong dengan versi halus. Hasilnya, lanjutnya, ekspresi tari itu tidak keluar karena pengekangan.
Tari Jaipong, lanjutnya, sebagai bagian dari Ketuk Tilu – akarnya adalah penggambaran masyarkat agraris untuk persembahan terhadap kesuburan. Satu bagian dari Ketuk Tilu, yakni “soderan”yang mengekspresikan kegembiraan setelah upacara ritual kesuburan, yang berkembang menjadi Tari Jaipong.
Mengenai pilihan busana, paparnya, para seniman tari memilihnya berdasarkan tempat pentasnya. Dia mencontohkan, di wilayah Subang, penarinya memakai kebaya dan menggunakan kemben. “Kalau pakai kemben nanti masuk angin, itu sudah diperhitungkan oleh mereka,” kata Nanu.
AHMAD FIKRI | RANA AKBARI