TEMPO Interaktif, Jakarta: Selama puluhan tahun, Pasar Seni Ancol dikenal dengan kios-kios yang menjual karya-karya seni. Rerimbunan pohon membuat orang betah di sana, juga nyamuk yang berdengung mengincar darah.
Sejak 1976, tak ada perubahan konsep di kawasan Pasar Seni. Baru-baru ini, pengelola Ancol membuat terobosan. Pasar Seni dijadikan tempat outbond sejak Januari. Dalam sepekan, bisa 500 pengunjung yang datang. Lalu tiap Minggu pagi, ada pasar kudapan yang, kata Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Budi Karya Sumadi, menambahkan 5.000 pengunjung ke sana.
Tapi, Ancol masih ingin menaikkan kelas kawasan itu. Maka sebuah gedung dua lantai dipugar. Dari tempat kursus seni, gedung kayu yang biasa dipakai Ancol Art Academy itu disulap menjadi sebuah galeri. Namanya North Art Space (NAS). "Setting-nya untuk tempat karya-karya seni high end," kata Budi.
Kamis lalu, Tempo menengok ke sana. NAS mengambil tempat di bagian tengah gedung Ancol Arts Academy. Dua sayap lainnya masih dipakai untuk kegiatan sanggar Ancol Art Academy dan sebuah restoran yang biasa dipakai pengunjung outbond untuk melepas penat.
Dua sayap lain masih berwajah lama--gedung kayu berwarna cokelat kehitaman. Galeri NAS mencolok mata dengan wajah kontemporernya, seperti, bagian depan bernuansa kelabu dengan tegel bercorak batu kelabu gelap serta dinding bercat abu-abu dengan kaca-kaca mendominasi bagian depan. Di luar galeri, sebuah karya instalasi semut-semut raksasa terpasang.
Melangkah ke dalam, Moon Racer nangkring di tengah ruangan. Ini karya perupa Heri Dono yang terbuat dari kaca fiber dan mobil beneran. Sosok berpakaian hijau duduk menyetir sebuah kendaraan futuristik. Di sebelah kiri si pengemudi, sebuah senjata api tersimpan dengan moncong menghadap atas.
Lantai satu juga dihiasi instalasi batu-batu menggantung karya Yani Mariani, dibuat pada 2003, dari seri Endless. Di bagian belakang ada studio piano, keyboard, dan drum. Galeri yang sesungguhnya berada di lantai dua bisa dicapai melalui dua tangga yang letaknya tak berjauhan.
Melalui tangga yang berlapis plesteran motif kayu, pengunjung sampai ke sebuah ruangan persegi. Bagian tengah lantai dua berlubang seperti balkon untuk melihat ke lantai di bawah.
Untuk merevitalisasi galeri ini, Ancol menggandeng pemilik Semarang Gallery, Chris Dharmawan. Dia mengorganisasi pameran pembukaan bertajuk "Hybridization", yang menyuguhkan percampuran berbagai bentuk seni rupa kontemporer. "Sejak dulu, tak ada perubahan konsep di Pasar Seni. Padahal, masyarakat sudah bergeser," kata Chris.
Peran pemerintah, kata Chris, adalah hambatan utama. Peran serta pemerintah dalam pembuatan infrastruktur seni rupa tergolong minim. "Bila ini (NAS) berhasil, maka ini keberhasilan pihak swasta yang mengajak pemda," kata dia. Nama NAS pun, ujar dia, berasal dari gagasan para "swasta" itu, yang diamini Direktur Utama Ancol Budi. Asal nama itu tentu saja karena Ancol terletak di pesisir Jakarta Utara.
Galeri itu, kata Chris, sangat primitif. Mereka tak bisa berbuat terlalu banyak dalam merenovasi karena waktu yang singkat. Maka yang dilakukan hanya mengganti lantai, meratakan langit-langit, dan memperbaiki dinding. Langit-langit setinggi tiga meter, kata Chris, tak cukup baik untuk sebuah galeri kontemporer yang biasanya bertinggi lima meteran. "Masih banyak yang bisa dilakukan (dari sisi arsitektur), tapi belum. Saat ini sebisa mungkin galeri sesuai dengan produk (yang dipamerkan)," kata dia.
Galeri ini diresmikan kemarin oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Dua lusin seniman berpartisipasi dalam "Hybridization". Ada karya-karya lama, seperti karya kelompak Tromarama, yang berjudul Zsa Zsa Zsu, karya animasi stop motion berbentuk wajah yang dibuat dari kancing-kancing dan manik-manik, serta dua karya lukis Andy Dewantoro yang pernah digelar di ARK Gallery: instalasi Saftari berupa mesin ketik yang besar dari plat baja dan tumpukan batang korek raksasa. Tumpukan yang pernah dipamerkan di Galeri Langgeng, Magelang, ini langsung membetot mata karena berbeda dari yang lain.
Ada juga sejumlah karya baru, seperti Private Room dari Davy Linggar. Dia memajang 96 foto polaroid berbingkai pada bidang seukuran 8 x 16 bingkai. Di tengah, bidang seluas 4 x 8 bingkai dikosongkan. Ada cermin bundar kecil berdiameter tak sampai 1 sentimeter di bidang kosong itu yang bisa luput dari perhatian.
Uniknya, semua foto itu tak bisa terlihat langsung karena kaca bingkai dan bagian depannya disemprot cat putih. Untuk bisa melihat foto, pengamat harus mengintip dari sisi-sisinya. Dan jadilah si pengamat sebagai pengintip ruang privat orang. Dan benar, ada foto-foto privat di sana.
Selain itu, karya-karya baru adalah karya cetak Far Away From Home dari Indra Leonardi, satu lukisan Andy Dewantoro, karya realis lukisan Ngk Ardana yang tak berjudul, karya abstrak Hanafi, Luar+Dalam, Super Impose-nya Gede Mahendrayasa, dan masih banyak lagi.
Menurut kurator pameran, Rifky Effendy, pameran itu mengharapkan apresiasi dari segmen yang luas, seperti juga pengunjung di Ancol. "Inilah kesempatan melihat karya seni berkelas," kata dia. Ancol strategis karena banyak pula kalangan pelajar yang sering berkunjung, sehingga karya-karya bisa dinikmati segmen yang lebih muda. Lagi pula, kata dia, galeri-galeri di Jakarta umumnya berada di tempat-tempat yang dikepung kemacetan.
Setelah "Hybridization", Galeri NAS akan membuka diri untuk berbagai jenis karya, bahkan hingga tenun dan patung. Yang bisa masuk tentu tak sembarang. "Ada kualifikasinya. Karya diterima bila tim kurator merekomendasikan," kata Direktur Utama Ancol Budi Karya Sumadi.
IBNU RUSYDI