TEMPO Interaktif, Memindahkan yang dilihat sepersis mungkin ke kanvas, itulah realisme. Dan kemudian ternyata “sepersis mungkin” ini beragam, tidak seragam. Ada realisme seperti Raden Saleh, yang konon lukisan bunganya mengundang lebah pencari madu. Ada realisme Chusin Setyadikara yang sangat detail, lebih dari karya Raden Saleh, sehingga dalam salah satu lukisan pasar menampakkan kerikil dan debu dari lantai yang retak begitu persis. Lalu ada realisme Dede Eri Supria yang belakangan suka melukis sepeda motor besar lengkap dengan pantulan cahaya pada bagian-bagian putih stainless. Kini ada realisme Ito Joyoatmojo, yang 11 lukisannya dipamerkan di Galeri SIGIarts, Jakarta, hingga pertengahan September 2009.
Karya Ito segera terasa berbeda dengan realisme yang ada. Sebelas karyanya boleh dibilang “menipu”: terlihat persis sebagai foto dan baru pada jarak tertentu, sapuan dan goresan cat terlihat. Tampaknya, Ito bisa mencapai kepersisan fotografis dengan bantuan peranti semisal proyektor (dalam katalogus ada foto Ito sedang melukis; pencahayaan di situ menyugestikan kanvas disorot dengan lampu dari projektor)--hal yang sudah lazim dilakukan oleh para perupa, termasuk Dede Eri Supria. Dengan begitu sebenarnya realisme Ito adalah memindahkan kenyataan secara tidak langsung; ia sebenarnya memindahkan foto dari kenyataan.
Bila lukisan Ito mengesankan kepersisannya dengan kenyataan sangat detail, lebih detail dari Chusin dan Dede saya kira, pun “hilang”-nya emosi, atau kedalaman pada lukisannya juga lebih. Bahkan menurut kurator pameran ini, Asmudjo Jono Irianto, karya Ito itu flatness, datar, kosong. Dan ini memang ide Ito, tulisnya.
Pada saya segera pameran Ito mengingatkan pada reklame: menyuguhkan kenyataan sepersis mungkin (memang dibuat dengan kamera foto) dengan dingin, datar, kosong. Yang demikian ini tentunya disengaja agar yang dijajakan reklame itu tidak dikalahkan, setidaknya tidak disaingi, hal lain semisal adanya emosi, cerita, dan sebagainya. Kereklamean di sini biasanya muncul dari tanda-tanda (bisa logo dan atau tulisan) yang dicantumkan. Itulah mengapa gambar reklame tak melibatkan simpati apalagi empati kita. Perbandingan ini jelas tersuguhkan pada pameran di Pacific Place Mall bulan lalu, ketika sejumlah karya lukis didampingkan dengan reklame.
Kalau tujuan Ito memang menyuguhkan ketanpaemosian dan ketanpaan-ketanpaan yang lain-lain yang lazim ada pada sebuah lukisan, menyuguhkan karya yang mirip reklame, dalam lukisan-lukisan rerumputannya ia sangat sukses. Karya-karya Tri Mulin, Cikarang, Apuan, Jombang, dan Sommer adalah potret rumput dan ilalang yang diambil sedemikian rupa hingga pokok lukisan hadir sepenuh kanvas. Kepersisan warna hijau rumput dan ilalang, cokelat rumput dan ilalang kering, warna-warna bunga rerumputan menguatkan kesan bahwa ini “sekadar” foto, “sekadar” rekaman kenyataan tanpa maksud apa pun. Bahkan “suasana” pun tak terasa hadir. Kita tak merasa--atau tepatnya tak teringatkan--adakah ini rerumputan pada musim panas atau hujan.
Baca Juga:
Lalu, adakah karya-karya ini sekadar pameran kecanggihan teknik melukis? Tampaknya tidak. Kecanggihan itu diperlukan untuk mewujudkan gagasan Ito menghadirkan karya yang bebas emosi dan lain-lain itu. Kecanggihan ini diperlukan untuk membebaskan Ito dari hubungan dengan obyek. Tak terkesan bahwa Ito mencintai rerumputan, misalnya.
Dengan kecanggihan itu terkesan pada saya bahwa Ito sebenarnya sedang mencari: di sepetak hamparan rerumputan itu ada apa gerangan. Sayup-sayup, jauh dari jelas, karya Ito mengandung misteri. Sayup-sayup dikarenakan misteri tak “menetap”: ia kadang muncul terasa, kadang lenyap bertukar dengan kepersisan tadi. Di bawah sadar, saya berspekulasi, Ito sebenarnya merasakan sesuatu namun itu tak tertemukan atau tak terkatakan pada rerumputan. Ito perlu melakukan sesuatu.
Sesuatu itu saya temukan pada Velo, lukisan jajaran sepeda dengan sudut pandang sedemikian rupa hingga yang tertangkap adalah jajaran roda belakang sepeda komplet dengan jeruji, rantai, dan gir. Ada yang berbeda antara lukisan berobyek rerumputan dan sepeda-sepeda, terutama pada Velo. Yang jelas, pada Velo sepeda itu tak memenuhi kanvas sepenuhnya; masih ada ruang kosong. Dan ruang kosong ini bukan tidak dijadikan lantai atau tembok, melainkan tetap hanya warna. Di ruang kosong itu pun tanpa bayangan sepeda, padahal sepeda-sepeda itu digambarkan ada gelap-terangnya, artinya ada cahaya. Di mana gerangan bayang-bayang sepeda itu?
Dengan latar yang hanya warna rata itu, Velo memancing kita untuk “menikmati” komposisi warna: di antara ban hitam dan pelek putih serta gir abu-abu adalah warna merah (pada ketengkas penutup rantai, pada batang penyangga, pada lampu, pada sadel). Tapi tak lalu karya ini menjadi menonjol komposisi bentuk dan warnanya. Semangat Ito tetaplah menyuguhkan kenyataan yang tanpa emosi dan lain-lain itu.
Ruang kosong pada Velo bisa jadi hanya kebetulan, karena sepeda-sepeda itu tak memenuhi kanvas. Ini terlihat pada Stadelhofen, yang sepeda-sepedanya memenuhi kanvas mesti tak semenutup pada rerumputan. Dan ruang kosong pada Stadelhofen rasanya juga dibiarkan hanya warna polos.
Pembiaran ruang kosong itu juga terjadi pada gambar reklame: produk yang dipromosikan dilepaskan dari lokasi nyata, hanya ada bidang gambar, dan biasanya di bidang kosong inilah logo atau tulisan dicantumkan. Ito, seorang ilustrator, desainer grafis, dan desainer produk, tentu tak asing dengan kiat gambar reklame. Mungkin, lebih dari ketika merencanakan desain, ketika melukis Ito benar-benar berjuang membuang emosi dan keterlibatan yang lain-lain. Tulis Asmudjo, Ito “menjadikan dirinya sendiri mesin”. Ruang kosong itu, agaknya, juga hasil dari kerja Ito sebagai mesin. Kalau ruang kosong itu memberikan kesan lain pada karyanya, itu--seperti sudah disebutkan--kebetulan belaka.
Namun sejauh mana Ito bisa menjadikan dirinya mesin? Bayang-bayang atau sayup-sayup misteri pada karya-karya mensinyalkan bahwa “mesin” ini tak sepenuhnya mesin. Ia sadar bahwa ketika melukis ia bukannya membuat reklame. Ada sesuatu yang membuat lukisan Ito menjadi lukisan dan bukan reklame. Yang paling sederhana tiadanya logo dan tulisan seperti pada reklame. Ini membuat kita tak merasa sedang berhadapan dengan gambar reklame: rerumputan itu tak sedang menjajakan sesuatu, juga sepeda itu. Rerumputan dan bunga dan sepeda itu adalah dirinya sendiri. Kalau karya seni dianggap mewakili zaman, tulis Asmudjo, karya Ito mencerminkan kedataran dan kedangkalan kebudayaan kontemporer.
Di ruang pameran galeri itu saya merasa disuguhi lukisan-lukisan yang obyeknya tidak mencoba mengingkari diri sendiri (rumput ya sebagai rumput, sepeda ya sebagai sepeda) untuk menjadikan kanvas itu sebuah karya seni. Bandingkan dengan karya lukis yang menghadirkan obyek persis seperti aslinya, karya ini menjadi seni karena obyek di situ berhenti berfungsi, obyek itu menjadi absurd. Ito meluaskan negasi itu, bukan obyeknya, melainkan konteksnya. Yang diingkari adalah alam, adalah suasana sehari-hari, yang memang absen. Ketika alam tiada, dan suasana sehari-hari juga berhenti sejenak, tidakkah kita terbawa untuk mempertanyakan, merenung, dan sejenisnya? Dan itulah ajakan karya seni.
BAMBANG BUJONO