Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pameran Tujuh Wajah dari Moelyono

image-gnews
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta -Mungkin cerita itu begitu berat. Si empunya wajah seperti tak ingin diketahui identitasnya. Ada bagian-bagian yang digelapkan. Lalu warna pada wajah jauh dari ceria: hitam, merah tua, oker, putih. Melengkapi penyamaran identitas, wajah-wajah itu berpupur, tebal, dan retak-retak.

Ada tujuh wajah, karya Moelyono, yang dipamerkan di Galeri Koong, di Jakarta, hingga akhir September. Goresan, sapuan, dan warna, serta bentuk di ketujuhnya mengesankan sesuatu yang gelap, tragis. Warna merah-oker-hitam terasa makin muram dan berat justru adanya beberapa kontras putih. Wajah-wajah itu menggaungkan sesuatu yang menyakitkan. Ini wajah penderitaan, wajah yang kalah, retak, dan “siap” hancur. Terkesan, retak pada wajah adalah sebuah proses menuju kehancuran.

Tapi wajah-wajah itu tak minta dikasihani. Moelyono menihilkan emosi pada kanvasnya. Kita tak tak hanyut oleh empati karena yang menghanyutkan tidak ada, atau minim sekali. Juga, ketujuh wajah itu tak menerbitkan simpati. Moelyono “sekadar” merekam sebuah riwayat, untuk “dimasyarakatkan”.

Sampai di sini, lalu atas nama apa ketujuh wajah itu dihadirkan? Dari ketujuhnya, tiga di antaranya paling sedikit, disertai rekaman suara dalam pita kaset.

Lukisan wajah yang disertai kaset ini ditandai dengan logo suara. Dari suara inilah kita menebak, mereka adalah korban peristiwa 30 September 1965. Salah satu rekaman kaset itu berbicara tentang lagu Genjer-genjer. Lagu lama ini (konon diciptakan pada zaman pendudukan Jepang) “dicap” sebagai lagu “milik” Partai Komunis Indonesia. Siapa pun yang menyanyikannya, pada masa pemerintahan Soeharto, akan begitu saja dituduh sebagai anggota partai yang dilarang itu, setidaknya simpatisannya, dan nasibnya akan sungguh menderita.

Dan memang begitu. Dalam katalogus ada penjelasan dari Moelyono--disampaikan oleh kuratornya (Hendro Wiyanto) dalam pengantar kuratorialnya--bahwa wajah-wajah itu adalah wajah penderitaan, korban peristiwa politik 30 September 1965.
Dan di situlah masalahnya. Kanvas Moelyono tak memberikan tanda-tanda agar kita membaca wajah-wajah itu dan mengaitkannya dengan peristiwa politik.

Sementara itu, menurut saya, telanjur kanvas itu demikian lemah daya tarik empati dan simpatinya. Dari sudut pandang ini, Pupur Mbah Jun, salah satu dari ketujuh wajah itu, adalah karya yang “gagal”. Karya ini memikat karena menciptakan empati. Dominasi warna merah dan ekspresi bibir “Mbah Jun” menggerakkan perasaan. Lukisan satu ini tak berhenti sebagai karya yang “dingin” dan “kosong”; ada sesuatu yang kita peroleh.
Dan kemudian, ketujuh lukisan dan sejumlah karya pensil pada kertas terasa sebagai penggembira begitu kita amati dua karya instalasi dalam pameran tunggal Moelyono kali ini, terutama pada Ingatan Berkesenian.

Inilah instalasi yang menggunakan seperangkat gamelan--empat gong, tiga bonang, dan satu saron--lengkap dengan alat penabuh. Gamelan dan tabuhnya itu tanpa kecuali dilumuri lumpur. Segera terkesan, seperangkat gamelan ini habis digenangi banjir. Kesan itu diperkuat oleh dinding terdekat karya instalasi ini disajikan: sebagian dinding itu juga dilaburi dengan lumpur.
Namun segera ada sesuatu yang membatalkan kesan itu: tabuh-tabuh gamelan itu masih tertata rapi di gamelannya, dan juga letak gamelan sedemikian rupa hingga tak meyakinkan kita bahwa ada bah melanda. Lumpur itu adalah metafora, bukan lumpur banjir, agaknya.

Seperangkat gamelan itu seolah sebuah monumen sejarah. Pernah suatu ketika kesenian dilumuri lumpur sepenuhnya, dan karena itu kesenian berhenti sebagai media komunikasi antara seniman dan orang lain. Dengan Ingatan Berkesenian, Moelyono menghadirkan kesaksian, betapa dahsyat “lumpur” itu menghentikan fungsi gender, saron, dan gong itu. Bila tajuk pameran ini adalah “Topografi Ingatan (Fragmen Kesaksian Moelyono/Guru Gambar)”, judul ini tepat menunjuk pada karya instalasi satu ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanpa menghubungkan dengan peristiwa politik 30 September 1965 pun, Ingatan Berkesenian menyajikan tragedi mendalam. Ini pembungkaman suara, yang dengan alasan apa pun adalah suatu kebiadaban. Di mana para niyaganya? Lumpur pada dinding mengesankan sebuah kesaksian: ada kejahatan kemanusiaan di sini; bukan hanya gamelan yang dibungkam.

Juga Jejak Bertahan adalah kesaksian sebuah kebiadaban. Sebuah sepeda seorang pedagang keliling, masih komplet dengan keranjang dan pengeras suara, berhenti berfungsi karena sepenuhnya dilumuri lumpur. Dan lumpur itu, seperti telah disebutkan pada Ingatan Berkesenian, bukan bencana alam. Keutuhan sepeda itulah buktinya, seperti juga masih tertata dengan rapi tabuh-tabuh gamelan itu.

Inilah dua karya instalasi di antara sejumlah lukisan akrilik pada kanvas dan satu seni rupa video karya Moelyono. Perupa ini dikenal sebagai penggagas “seni rupa penyadaran”, yakni seni rupa sebagai media untuk mengungkapkan masalah sosial yang dihadapi “senimannya” (dan bagi Moelyono, semua orang adalah seniman). Ia juga melihat bahwa karya seni rupa hanya menjadikan rakyat kecil sebagai obyek, dilukis, dipatungkan, sementara itu keuntungan jatuh sepenuhnya pada senimannya. Ini tidak adil, begitu kira-kira Moelyono memprotes.

Adakah lukisan wajah-wajahnya sebuah upaya mengangkat rakyat kecil yang namanya tak dicatat dalam buku sejarah? Setidaknya, inilah usaha seorang sahabat menampilkan mereka untuk “berbicara”. Mungkin, karena usia, mereka tak lagi bisa diajak melakukan “seni rupa penyadaran” itu. Mereka tak bisa mengangkat sendiri masalah mereka lewat karya seni rupa. Memang, mereka masih bisa, misalnya menyuguhkan seni tari dan musik (gamelan), sebagaimana ditunjukkan dalam dokumentasi video dengan durasi sekitar 15 menit. Mungkin, karena dulu, sebelum tragedi menimpa, mereka memang seniman tari dan gamelan. Inilah rekaman, bagaimana para pemilik wajah itu berseni tari dan berkarawitan seperti di Bali menurut catatan Walter Spies (yakni, tari adalah gerakan untuk merayakan kesucian, dan musik untuk memuja Yang Kudus), bukan sekadar menyajikan “keindahan” dan “kemerduan”.

Nanti, dalam sebuah jarak waktu, karya-karya Moelyono ini mungkin menjadi obyek penelitian. Namun, lebih daripada itu, karya-karya ini--terutama ketujuh lukisan wajah itu--akan membuat orang bertanya, tragedi seperti apa gerangan yang menimpa wajah-wajah itu. Lebih daripada sekadar sebuah catatan harian, lebih daripada sebuah museum yang menyimpan hal-ihwal beserta bukti berupa benda-benda tentang sebuah tragedi, karya seni bisa lebih menyentuh justru karena tak memberikan data dan fakta nyata (bahwa Moelyono memerlukan data dan fakta untuk menciptakan wajah-wajah itu, ini soal lain).

Yang direkam Moelyono bukan cerita verbal apalagi data angka dan fakta peristiwa. Ia merekam suara tanpa bunyi, untuk didengarkan tanpa suara. Itulah kenapa, menurut hemat saya, penyertaan rekaman kaset itu tidak perlu. Yang diperlukan adalah pendalaman lebih jauh, bagaimana merekam “suara tanpa bunyi” itu.

Bambang Bujono

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer

11 Desember 2023

Mengenang Musikus Bengal: Harry Roesli
Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer

Pada 11 Desember 2004, musisi Harry Roesli tutup usia. Ia merupakan seorang pemain musik yang dijuluki Si Bengal dan pencipta lagu yang produktif.


Asyiknya Merakit Gundam Plastik

22 Oktober 2023

Asyiknya Merakit Gundam Plastik

Berawal dari anime serial Gundam, banyak orang tertarik merakit model kit karakter robot tersebut.


Khadir Supartini Gelar Pameran Tunggal "Behind The Eye"

30 Juni 2023

Konferensi pers  Solo Exhibition
Khadir Supartini Gelar Pameran Tunggal "Behind The Eye"

Pameran seni kontemporer ini dibuka untuk umum tanpa reservasi dan tidak diperlukan biaya masuk.


Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

28 Agustus 2021

Pameran tunggal Zahrah Zubaidah alias Zazu bertajuk Studi Karantina. (Dok.Orbital Dago)
Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

Zahra Zubaidah tidak menyangka, sekolah seni ternama itu terbatas hanya mengandalkan seni kontemporer.


Artjog MMXXI Digelar, Terapkan Konsep Pameran Luring dan Daring

8 Juli 2021

Karya seni instalasi karya sutradara Riri Riza berjudul Humba Dreams (un)Exposed dipajang di Artjog 2019. TEMPO | Shinta Maharani
Artjog MMXXI Digelar, Terapkan Konsep Pameran Luring dan Daring

Menparekraf Sandiaga Uno mengapresiasi penyelenggaraan Artjog sebagai ruang yang mempertemukan karya seni para seniman dengan publik secara luas.


Pertunjukan Daring: Gamelan, Bondres Bali, dan Nasib Pertunjukan Seni Tradisi

20 Februari 2021

Tari Legong Semarandana dalam pertunjukan Budaya Pusaka Kita: Bangga pada Budaya Nusantara yang digelar Wulangreh Omah Budaya., Sabtu, 13 Februari 2021. Tempo/Inge Klara Safitri.
Pertunjukan Daring: Gamelan, Bondres Bali, dan Nasib Pertunjukan Seni Tradisi

Omah Wulangreh menggelar pertunjukan seni dan budaya Pusaka Kita. Menampilkan musik gamelan Tari Legong Semaradana.


Sutradara Riri Riza Juga Bisa Bikin Seni Instalasi, Ada di Artjog

28 Juli 2019

Sutradara Riri Riza saat menghadiri gala premiere film Athirah di XXI Epicentrum, Jakarta, 26 September 2016. Film ini diperankan aktor diantaranya Cut Mini, Christoffer Nelwan, Indah Permatasari, Tika Bravani, dan Jajang C Noer. TEMPO/Nurdiansah
Sutradara Riri Riza Juga Bisa Bikin Seni Instalasi, Ada di Artjog

Seni instalasi karya Riri Riza bersama seniman lainnya berjudul Humba Dreams (un) Exposed ditampilkan di Artjog 2019 di Yogyakarta.


Sri Mulyani Buka Artjog 2019, Bicara Populasi dan Toleransi

26 Juli 2019

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka Artjog 2019 di Jogja National Museum Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
Sri Mulyani Buka Artjog 2019, Bicara Populasi dan Toleransi

Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka Artjog 2019 dan berbicara di panggung selama 10 menit tanpa teks.


Fakta Cooke Maroney, Art Dealer Tunangan Jennifer Lawrence

7 Februari 2019

Cooke Maroney (Artforum)
Fakta Cooke Maroney, Art Dealer Tunangan Jennifer Lawrence

Tunangan Jennifer Lawrence, Cooke Maroney, adalah seorang art dealer seni kontemporer. Ia pernah bekerja dengan beberapa tokoh seni Amerika.


Nuit Blanche Taiwan 2018, Museum Tanpa Dinding

7 Oktober 2018

Pengunjung Nuit Blanche Taipei 2018 berfoto di instalasi bertajuk Hug di kota Taipei, Taiwan, Sabtu, 6 Oktober 2018. (Martha Warta Silaban/ TEMPO)
Nuit Blanche Taiwan 2018, Museum Tanpa Dinding

Sejak Sabtu malam hingga pagi hari, pengunjung Nuit Blanche dapat menikmati 70 pertunjukan dan 43 instalasi seni yang tersebar di kota Taipei, Taiwan.