Jompet diundang untuk menggelar pameran tunggal di Osage Gallery Singapore, salah satu galeri yang paling mapan di Asia sekarang ini pada November 2009 hingga Januari 2010. Kurator galeri ini, Eugene Tan, pertama kali tertarik melihat karya Jompet ketika ia menghadiri Jakarta Biennale 2009. Dan keputusan untuk membawa karya ini ke Singapura ternyata cukup tepat, sambutan publik setempat cukup bagus, terutama karena sedikit banyak berbagi pengalaman yang sama tentang kolonialisasi dan sinkretisme beragam kebudayaan.
Gagasan karya Jompet adalah tentang sinkretisme yang membentuk Jawa. Pada karya-karyanya yang terdahulu itu, diwujudkan dengan barisan 15 prajurit berkostum lombok abang, khas Keraton Yogyakarta, untuk pameran kali ini dikembangkan terutama menggali lebih dalam sisi spiritualitas. Masuknya agama-agama ke tanah Jawa, selain ditandai dengan berbagai peperangan dan penggulingan kekuasaan, pun diimbangi dengan asimilasi dan akulturasi kepercayaan-kepercayaan yang dulu belum dikenal sebagai agama.
Ruang pamer dibuka dengan karya menarik, "The New Myth for the New Family", berbentuk pohon tanpa daun yang dipenuhi dengan binatang semacam serangga. Serangga ini tanpa henti mengepakkan sayapnya, dengan dengung suara yang membuat ruang kecil itu jadi terasa mencekam. Jika diperhatikan, setiap serangga itu ternyata memiliki identitas (semacam gantungan nama yang banyak dipasang pada binatang piaraan) masing-masing. Hampir seratus serangga itu dipasang tidak dengan acak.
Sesungguhnya Jompet sedang menggambarkan sebuah pohon keluarga (family tree) yang melacak hubungan keturunan dari Nabi Adam hingga Raja Mataram pertama. Dari pelacakan mengenai raja-raja dan sejarah Islam di Jawa, ternyata ditemukan mitos tentang bagaimana sebelum diterima secara luas dan menjadi agama resmi masyarakat, mereka membutuhkan mitos yang dapat menggambarkan relasi raja, Muhammad, dan nabi-nabi sebelumnya sebagai satu keturunan. Di bawah pohon itu, disebarkan daun-daun kering kecokelatan yang membuat citra visual menjadi lebih puitis. Dengungan serangga sendiri menjadi musik yang kontemplatif bagi karya ini.
Di ruang pamer utama, Jompet menggelar karya "Ghost of War" series, yang melukiskan ke-15 prajurit berdiri dengan posisi menyebar. Beberapa dari mereka membawa drum, sedangkan yang lain memanggul senjata, dengan lampu menyala dari tubuh mereka. Instalasi ini dihubungkan dengan dua video, yang pertama menunjukkan seorang pemuda setengah telanjang menari sambil membawa pecut, sedangkan video yang kedua menggambarkan situasi yang sama, dengan latar belakang di sebuah pabrik gula.
Baca Juga:
Di antara para prajurit itu, tampak "sosok" seorang raja dengan pakaiannya yang gemerlap, kain batik motif khusus raja dengan kerlip emas dan mahkota yang tegak. Di hadapannya, Jompet memajang empat pasang sepatu bot berbahan kulit untuk perempuan yang di atasnya terlindung oleh tiruan atap masjid dalam ukuran kecil, terbuat dari aluminium. Karya ini berjudul "Marry Us". Jompet menggambarkan dengan simbol-simbol yang penuh makna tentang bagaimana perkawinan dua tradisi yang berbeda, antara Jawa dan Islam, melalui proses "peminangan" pula, tatkala janji-janji dan harapan baru didengungkan.
Kemudian, di sudut yang lain, Jompet memajang karya video tentang orang-orang yang menunggu dan berjaga pada sesuatu yang baru, yang akan datang memasuki hidup mereka. Orang-orang itu dimunculkan sebagai bayangan, seperti prajurit yang membawa tonggak sebagai penanda. Langit biru dan bayangan hitam adalah imaji utama dalam karya video ini, tetapi elemen penting lain adalah teks. Melalui alat pendengar, pengunjung bisa mengikuti percakapan antara dua orang, lelaki dan perempuan, tentang orang-orang yang menunggu entah apa. Bisa jadi perang, bisa jadi kebudayaan baru, bisa jadi sistem baru, atau penguasa baru.
Dalam pandangan saya, beberapa karya baru yang ditampilkan pada pameran di Singapura ini beranjak dari pameran Java's Machine sebelumnya, Jompet memberi penekanan lebih pada aspek negosiasi antara praktek budaya dan politik dengan agama ketimbang pada isu pertemuan Jawa dengan modernisasi dan gagasan-gagasan Barat sebagaimana karya yang diciptakan setahun lalu. Simbol-simbol tentang Islam yang dimunculkan pun lebih Islam yang dihidupi oleh praktek keseharian masyarakat di kultur pinggiran atau agraris, bukan simbol Islam yang bercitra "murni" atau "modern", misalnya pada video tentang lagu-lagu salawatan atau adaptasi dari nama-nama Arab menjadi nama berbau Jawa, yang ditempelkan pada serangga dalam karya pohon keluarga tadi.
Sebagaimana petualangannya di beberapa tempat lain, karya-karya Jompet dalam pameran di Singapura ini mendapat sambutan sangat baik dari pengunjung. Di luar bentuknya yang secara visual mudah menarik perhatian, beserta berbagai kejutan yang dimunculkan oleh teknologi sederhana yang menjadi ajang bermain-main senimannya, barangkali mereka sendiri juga diingatkan untuk melacak lagi jejak dari lintasan-lintasan berbagai budaya yang berbeda, yang sekarang ini menjadi fondasi mereka sebagai sebuah bangsa.
Alia Swastika, penulis seni rupa