Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Petualangan Prajurit Jawa di Singapura

image-gnews
Darmanto Setiawan
Darmanto Setiawan
Iklan
TEMPO Interaktif, Karya-karya tentang Jawa itu tak henti-hentinya bertualang. Saya mengamati bahwa barisan prajurit itu telah pergi menjejakkan kaki di berbagai tempat di dunia: barangkali hanya benua Amerika yang belum dipijaknya. Tahun ini, setelah menghabiskan petualangannya di beberapa pameran kelompok di Australia dan Asia, serta mengikuti biennale di Austria dan Lyon di Eropa, para prajurit itu berlabuh di Singapura. Agustinus Kuswidananto, yang kerap disapa Jompet, seniman pencipta barisan prajurit itu, mengatakan bahwa inilah pameran terakhirnya yang memajang seri karya "Java's Machine".

Jompet diundang untuk menggelar pameran tunggal di Osage Gallery Singapore, salah satu galeri yang paling mapan di Asia sekarang ini pada November 2009 hingga Januari 2010. Kurator galeri ini, Eugene Tan, pertama kali tertarik melihat karya Jompet ketika ia menghadiri Jakarta Biennale 2009. Dan keputusan untuk membawa karya ini ke Singapura ternyata cukup tepat, sambutan publik setempat cukup bagus, terutama karena sedikit banyak berbagi pengalaman yang sama tentang kolonialisasi dan sinkretisme beragam kebudayaan.

Gagasan karya Jompet adalah tentang sinkretisme yang membentuk Jawa. Pada karya-karyanya yang terdahulu itu, diwujudkan dengan barisan 15 prajurit berkostum lombok abang, khas Keraton Yogyakarta, untuk pameran kali ini dikembangkan terutama menggali lebih dalam sisi spiritualitas. Masuknya agama-agama ke tanah Jawa, selain ditandai dengan berbagai peperangan dan penggulingan kekuasaan, pun diimbangi dengan asimilasi dan akulturasi kepercayaan-kepercayaan yang dulu belum dikenal sebagai agama.

Ruang pamer dibuka dengan karya menarik, "The New Myth for the New Family", berbentuk pohon tanpa daun yang dipenuhi dengan binatang semacam serangga. Serangga ini tanpa henti mengepakkan sayapnya, dengan dengung suara yang membuat ruang kecil itu jadi terasa mencekam. Jika diperhatikan, setiap serangga itu ternyata memiliki identitas (semacam gantungan nama yang banyak dipasang pada binatang piaraan) masing-masing. Hampir seratus serangga itu dipasang tidak dengan acak.

Sesungguhnya Jompet sedang menggambarkan sebuah pohon keluarga (family tree) yang melacak hubungan keturunan dari Nabi Adam hingga Raja Mataram pertama. Dari pelacakan mengenai raja-raja dan sejarah Islam di Jawa, ternyata ditemukan mitos tentang bagaimana sebelum diterima secara luas dan menjadi agama resmi masyarakat, mereka membutuhkan mitos yang dapat menggambarkan relasi raja, Muhammad, dan nabi-nabi sebelumnya sebagai satu keturunan. Di bawah pohon itu, disebarkan daun-daun kering kecokelatan yang membuat citra visual menjadi lebih puitis. Dengungan serangga sendiri menjadi musik yang kontemplatif bagi karya ini.

Di ruang pamer utama, Jompet menggelar karya "Ghost of War" series, yang melukiskan ke-15 prajurit berdiri dengan posisi menyebar. Beberapa dari mereka membawa drum, sedangkan yang lain memanggul senjata, dengan lampu menyala dari tubuh mereka. Instalasi ini dihubungkan dengan dua video, yang pertama menunjukkan seorang pemuda setengah telanjang menari sambil membawa pecut, sedangkan video yang kedua menggambarkan situasi yang sama, dengan latar belakang di sebuah pabrik gula. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di antara para prajurit itu, tampak "sosok" seorang raja dengan pakaiannya yang gemerlap, kain batik motif khusus raja dengan kerlip emas dan mahkota yang tegak. Di hadapannya, Jompet memajang empat pasang sepatu bot berbahan kulit untuk perempuan yang di atasnya terlindung oleh tiruan atap masjid dalam ukuran kecil, terbuat dari aluminium. Karya ini berjudul "Marry Us". Jompet menggambarkan dengan simbol-simbol yang penuh makna tentang bagaimana perkawinan dua tradisi yang berbeda, antara Jawa dan Islam, melalui proses "peminangan" pula, tatkala janji-janji dan harapan baru didengungkan.

Kemudian, di sudut yang lain, Jompet memajang karya video tentang orang-orang yang menunggu dan berjaga pada sesuatu yang baru, yang akan datang memasuki hidup mereka. Orang-orang itu dimunculkan sebagai bayangan, seperti prajurit yang membawa tonggak sebagai penanda. Langit biru dan bayangan hitam adalah imaji utama dalam karya video ini, tetapi elemen penting lain adalah teks. Melalui alat pendengar, pengunjung bisa mengikuti percakapan antara dua orang, lelaki dan perempuan, tentang orang-orang yang menunggu entah apa. Bisa jadi perang, bisa jadi kebudayaan baru, bisa jadi sistem baru, atau penguasa baru.

Dalam pandangan saya, beberapa karya baru yang ditampilkan pada pameran di Singapura ini beranjak dari pameran Java's Machine sebelumnya, Jompet memberi penekanan lebih pada aspek negosiasi antara praktek budaya dan politik dengan agama ketimbang pada isu pertemuan Jawa dengan modernisasi dan gagasan-gagasan Barat sebagaimana karya yang diciptakan setahun lalu. Simbol-simbol tentang Islam yang dimunculkan pun lebih Islam yang dihidupi oleh praktek keseharian masyarakat di kultur pinggiran atau agraris, bukan simbol Islam yang bercitra "murni" atau "modern", misalnya pada video tentang lagu-lagu salawatan atau adaptasi dari nama-nama Arab menjadi nama berbau Jawa, yang ditempelkan pada serangga dalam karya pohon keluarga tadi.

Sebagaimana petualangannya di beberapa tempat lain, karya-karya Jompet dalam pameran di Singapura ini mendapat sambutan sangat baik dari pengunjung. Di luar bentuknya yang secara visual mudah menarik perhatian, beserta berbagai kejutan yang dimunculkan oleh teknologi sederhana yang menjadi ajang bermain-main senimannya, barangkali mereka sendiri juga diingatkan untuk melacak lagi jejak dari lintasan-lintasan berbagai budaya yang berbeda, yang sekarang ini menjadi fondasi mereka sebagai sebuah bangsa.


Alia Swastika, penulis seni rupa

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer

11 Desember 2023

Mengenang Musikus Bengal: Harry Roesli
Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer

Pada 11 Desember 2004, musisi Harry Roesli tutup usia. Ia merupakan seorang pemain musik yang dijuluki Si Bengal dan pencipta lagu yang produktif.


Asyiknya Merakit Gundam Plastik

22 Oktober 2023

Asyiknya Merakit Gundam Plastik

Berawal dari anime serial Gundam, banyak orang tertarik merakit model kit karakter robot tersebut.


Khadir Supartini Gelar Pameran Tunggal "Behind The Eye"

30 Juni 2023

Konferensi pers  Solo Exhibition
Khadir Supartini Gelar Pameran Tunggal "Behind The Eye"

Pameran seni kontemporer ini dibuka untuk umum tanpa reservasi dan tidak diperlukan biaya masuk.


Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

28 Agustus 2021

Pameran tunggal Zahrah Zubaidah alias Zazu bertajuk Studi Karantina. (Dok.Orbital Dago)
Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

Zahra Zubaidah tidak menyangka, sekolah seni ternama itu terbatas hanya mengandalkan seni kontemporer.


Artjog MMXXI Digelar, Terapkan Konsep Pameran Luring dan Daring

8 Juli 2021

Karya seni instalasi karya sutradara Riri Riza berjudul Humba Dreams (un)Exposed dipajang di Artjog 2019. TEMPO | Shinta Maharani
Artjog MMXXI Digelar, Terapkan Konsep Pameran Luring dan Daring

Menparekraf Sandiaga Uno mengapresiasi penyelenggaraan Artjog sebagai ruang yang mempertemukan karya seni para seniman dengan publik secara luas.


Pertunjukan Daring: Gamelan, Bondres Bali, dan Nasib Pertunjukan Seni Tradisi

20 Februari 2021

Tari Legong Semarandana dalam pertunjukan Budaya Pusaka Kita: Bangga pada Budaya Nusantara yang digelar Wulangreh Omah Budaya., Sabtu, 13 Februari 2021. Tempo/Inge Klara Safitri.
Pertunjukan Daring: Gamelan, Bondres Bali, dan Nasib Pertunjukan Seni Tradisi

Omah Wulangreh menggelar pertunjukan seni dan budaya Pusaka Kita. Menampilkan musik gamelan Tari Legong Semaradana.


Sutradara Riri Riza Juga Bisa Bikin Seni Instalasi, Ada di Artjog

28 Juli 2019

Sutradara Riri Riza saat menghadiri gala premiere film Athirah di XXI Epicentrum, Jakarta, 26 September 2016. Film ini diperankan aktor diantaranya Cut Mini, Christoffer Nelwan, Indah Permatasari, Tika Bravani, dan Jajang C Noer. TEMPO/Nurdiansah
Sutradara Riri Riza Juga Bisa Bikin Seni Instalasi, Ada di Artjog

Seni instalasi karya Riri Riza bersama seniman lainnya berjudul Humba Dreams (un) Exposed ditampilkan di Artjog 2019 di Yogyakarta.


Sri Mulyani Buka Artjog 2019, Bicara Populasi dan Toleransi

26 Juli 2019

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka Artjog 2019 di Jogja National Museum Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
Sri Mulyani Buka Artjog 2019, Bicara Populasi dan Toleransi

Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka Artjog 2019 dan berbicara di panggung selama 10 menit tanpa teks.


Fakta Cooke Maroney, Art Dealer Tunangan Jennifer Lawrence

7 Februari 2019

Cooke Maroney (Artforum)
Fakta Cooke Maroney, Art Dealer Tunangan Jennifer Lawrence

Tunangan Jennifer Lawrence, Cooke Maroney, adalah seorang art dealer seni kontemporer. Ia pernah bekerja dengan beberapa tokoh seni Amerika.


Nuit Blanche Taiwan 2018, Museum Tanpa Dinding

7 Oktober 2018

Pengunjung Nuit Blanche Taipei 2018 berfoto di instalasi bertajuk Hug di kota Taipei, Taiwan, Sabtu, 6 Oktober 2018. (Martha Warta Silaban/ TEMPO)
Nuit Blanche Taiwan 2018, Museum Tanpa Dinding

Sejak Sabtu malam hingga pagi hari, pengunjung Nuit Blanche dapat menikmati 70 pertunjukan dan 43 instalasi seni yang tersebar di kota Taipei, Taiwan.