TEMPO Interaktif, Mulai hari ini hingga 10 Januari 2010, Yogyakarta Biennale X 2009 bertajuk “Jogja Jamming: Art Archives Movement” akan berlangsung. Selama 31 hari itu, 123 perupa akan menggelar pusparagam karya yang merupakan penafsiran mereka atas lima semangat zaman yang menaungi praktek artistik di dunia seni rupa Yogyakarta, yaitu humanisme kerakyatan, humanisme universal, perlawanan terhadap estetika mapan, pergolakan antara budaya global dan lokal, serta seni rupa urban.
Selain itu, akan digelar arsip-arsip visual dari delapan gerakan seni rupa yang pernah dan masih ada di dunia seni rupa Yogyakarta, yakni Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, Pelukis Indonesia Muda, Bumi Tarung, Sanggar Bambu, Kepribadian Apa, Rumah Seni Cemeti, Apotik Komik, dan Taring Padi.
Di Bank Indonesia Yogyakarta, hasil kerja sama dengan Indonesian Visual Art Archive, akan digelar dokumen-dokumen visual Seniman Indonesia Muda, yang didirikan oleh Sudjojono pada 1946; Pelukis Rakjat, yang dilahirkan oleh Affandi dan Hendra Gunawan pada 1947; serta Pelukis Indonesia Muda. Tiga kelompok itu menandai tumbuhnya generasi pemula seni rupa Indonesia modern dalam kancah revolusi di Yogyakarta.
Sebagaimana ditengarai Selo Soemardjan (1981), Yogyakarta tidak hanya menjadi pusat berbagai macam pembaruan politik, tapi juga tempat ideal bagi eksperimen-eksperimen seni rupa. Lahirnya masterpiece, seperti lukisan Affandi berjudul Laskar Rakjat Sedang Mengatur Siasat, lukisan Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, lukisan Sudjojono bertajuk Seko Pemuda Gerilya, dan lukisan Persiapan Perang Gerilya karya Doellah adalah buktinya.
Dengan sikap berseni rupa semacam itu, mereka menjemput modernitas--yang pada masa itu lebih dikenal dengan istilah “baru” atau “kebaruan” karena istilah “modern” masih berkonotasi negatif seperti terdapat dalam banyak tulisan Soekarno.
Baca Juga:
Obesesi “baru” itu, menurut Denys Lombard (1996), sesungguhnya merefleksikan “dampak” Barat terhadap sikap berseni rupa Affandi dan kawan-kawan pada masa itu dalam bentuk “keterputusan dalam hal teknik: cat minyak, perspektif, penggunaan model; dan terutama keterputusan inspirasinya: pemandangan, potret, adegan-adegan cerita, tokoh drama”.
Dengan demikian, tak berlebihan jika dikatakan bahwa “keterputusan” itu telah melahirkan “satu generasi yang unik”--untuk memakai istilah Umar Kayam (2005)--yang “pada lukisan-lukisan mereka itulah terpantul juga perjalanan kita menjadi satu bangsa, memenangkan revolusi, dan membangun suatu negara merdeka”.
Sementara itu, Pelukis Indonesia Muda, yang didirikan oleh pelukis Widayat dan Sajogo pada 1952, memang tak semoncer Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakjat. Meski demikian, Pelukis Indonesia Muda perlu diketengahkan dalam perhelatan ini mengingat peran mereka sebagai pengusung ideologi humanisme universal di dunia seni rupa Yogyakarta yang mengejawantah dalam lukisan-lukisan abstrak dan dekoratif.
Selain Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, dan Pelukis Indonesia Muda, di gedung bekas De Javasche Bank--bank swasta pada zaman Hindia-Belanda yang beroperasi pada 1879--itu, berdasarkan riset ekstensif Indonesian Visual Art Archive, akan digelar arsip-arsip visual Yogyakarta Biennale I-IX, dengan pusat perhatian pada Biennale Eksperimental, yang muncul pada 1992 sebagai reaksi perupa muda terhadap pengelola Yogyakarta Biennale, yang mengabaikan eksistensi mereka waktu itu.
Berjarak 500 meter ke arah utara, di luar dan di dalam gedung pameran Taman Budaya Yogyakarta, yang dibangun pada 1996, kita bisa menyaksikan pusparagam karya seni rupa mutakhir milik 32 perupa kiwari Yogyakarta. Di antaranya, Budi Kustarto, Dadang Christanto, Eddie Hara, Eko Nugroho, Heri Dono, Ivan Sagita, Nyoman Masriadi, dan Wedhar Riyadi.
Dari sanalah Yogyakarta Biennale X 2009 akan memulai pertemuan kreatif lintas generasi perupa Yogyakarta untuk menyurat yang silam, menyingkap yang tersembunyi, serta menggurat yang menjelang dalam sejarah, tradisi, dan kehidupan berseni rupa di Yogyakarta.
Hal itu juga dapat kita temukan di Sangkring Art Space, yang berjarak 3,5 kilometer ke arah barat dari Taman Budaya Yogyakarta. Di ruang seni milik perupa Putu Sutawijaya ini, tergelar aneka rupa karya 45 perupa kontemporer Yogyakarta, di antaranya Abdi Setiawan, Agapetus Kristiandana, Bayu Yuliansyah, Edo Pop, F. Sigit Santosa, Handiwirman, Hendra “Hehe” Harsono, I Gusti Ngurah Udiantara, Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, dan Tommy Wondra.
Beranjak dari sana, 2 kilometer ke arah utara, pameran dilanjutkan di National Museum. Di bekas kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI-ISI Yogyakarta ini akan dipamerkan dokumentasi visual dan karya-karya gerakan seni rupa, seperti Bumi Tarung, Sanggar Bambu, Kepribadian Apa, Rumah Seni Cemeti, Taring Padi, dan Indieguerillas.
`Rasanya tidaklah berlebihan membayangkan sebuah perjumpaan eksistensial yang membahagiakan antara Bumi Tarung, yang memeluk teguh paham realisme sosial atawa humanisme kerakyatan, dan Sanggar Bambu, yang menganut keyakinan humanisme universal.
Sementara itu, kehadiran Kepribadian Apa dapat menjadi tanda semacam upaya membangkitkan batang terendam di antara eksponen-eksponen gerakan seni rupa yang dimotori oleh Gendut Riyanto, Haris Purnama, dan Ronald Manulang itu. Perlu diketahui, dalam historiografi seni rupa Yogyakarta, Kepribadian Apa disebut-sebut sebagai salah satu gerakan seni rupa anak muda yang menghebohkan jagat seni rupa Yogyakarta karena keberanian mereka memamerkan karya bermuatan kritik sosial-politik.
Tak mengherankan jika gerakan ini mendapat terjangan aparat militer pada September 1977. Selain gerakan-gerakan seni rupa tersebut, di museum ini akan digelar karya-karya kontemporer, antara lain ciptaan Entang Wiharso, Bambang “Toko” Witjaksono, Dipo Andi, Farhan Siki, Ismail “Sukribo”, Jompet, Terra Bajraghosa, Venzha, Yudi Sulistya, dan Yusra Martunus.
Pada akhirnya, setelah semua itu, saya harus menyudahi tulisan ini dengan memparafrasekan kata-kata Bambang Kusumo Prihandono (2009): Dalam menjalani kekiniannya, seni rupa Yogyakarta hidup dari imaji-imaji tentang masa lalu dan masa depan. Seni rupa Yogyakarta tak bisa hidup tanpa sejarah masa lalu.
WAHYUDIN, PENULIS SENI RUPA