Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Lumpur di Ujung Biennale  

image-gnews
TEMPO/Heru CN
TEMPO/Heru CN
Iklan

TEMPO Interaktif, Perupa Bonyong Munni Ardhi terdiam menatap tumpukan lumpur basah di atas meja, tepat di depannya. Perlahan, dengan kedua tangannya, ia mengaduk lumpur dan kemudian melumurkan pada mukanya. Puluhan orang yang menyaksikan adegan itu mulai tak sabar. "Makan, makan," teriak mereka berulang-ulang.

Sedikit ragu, Bonyong pun mulai memasukkan lumpur basah itu ke mulutnya. Beberapa kali perupa senior anggota Kelompok Kepribadian Apa (Kelompok Pipa) itu menjejalkan lumpur basah ke mulutnya setelah suapan sebelumnya dimuntahkan. Rasa tak nyaman di mulut memaksa Bonyong membuat gerakan mengitari meja, sembari terus berusaha mengeluarkan lumpur dari rongga mulutnya.

"Ini durasinya berapa menit?" kata Bonyong tiba-tiba. Ia tampaknya mulai tersiksa. "Baru lima menit. Terus. Lumpurnya dimakan, seperti lukisan itu," teriak rekan-rekan Bonyong. "Itu estetis," kata Bonyong sembari menuding lukisan karyanya yang tergantung di dinding. "Ini juga estetis," rekan-rekan Bonyong menyahut.

Maka Bonyong pun kembali mengulang adegan mengaduk-aduk lumpur di atas meja, kemudian memasukkannya ke mulut, dan memuntahkannya kembali. "Terima kasih," kata Bonyong mengakhiri performance-nya. Bonyong rupanya tak tahan lagi, ia segara menyerbu dua ember air bersih di dekat meja, membersihkan muka dan mulutnya.

Performance "Bonyong Ciak Lumpur" itu berlangsung di Jogja National Museum, Minggu sore lalu, sebagai bagian dari rangkaian penutupan Biennale Jogja X, yang berlangsung sejak 11 Desember 2009. Panitia sengaja menggelar performance itu di depan lukisan karya Bonyong berjudul Makan Lumpur, yang dipajang di lantai III Jogja National Museum bersama karya-karya dari Kelompok Pipa lainnya.

"Saya sebenarnya pingin membawa lumpur Lapindo, langsung dari lokasinya di Sidoarjo, namun tidak ada waktu," kata Bonyong kepada Tempo seusai pertunjukan. Maka Bonyong pun akhirnya harus puas dengan lumpur yang biasa digukanan para seniman patung untuk membuat master patung. Bagi Bonyong, performance ini untuk membuktikan keberpihakannya kepada para korban bencana lumpur Lapindo, sama seperti konsep lukisan karyanya yang berjudul Makan Lumpur.

Lumpur tampaknya menjadi benda favorit para perupa pada acara penutupan Biennale Jogja X di Jogja National Museum, Minggu lalu. Tak Hanya Bonyong, perupa Dadang Christanto juga memanfaatkan lumpur dalam performance-nya bertajuk Survivor. Dadang "memajang" 12 orang yang tubuhnya dilumuri lumpur di atas panggung utama upacara penutupan Biennale Jogja X. Tiap-tiap manusia lumpur itu membawa foto korban bencana lumpur Lapindo. Tanpa berkata sepatah kata pun, manusia lumpur itu bertahan di atas panggung sejak pukul 19.00 hingga acara penutupan Biennale Jogja X berakhir, menjelang dinihari.
Menurut Dadang, Survivor dalam acara penutupan Biennale Jogja X ini merupakan yang ketiga kalinya. Pertama kali Survivor dipentaskan pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia di Tugu Proklamasi, Jakarta, 10 Desember 2008. Pentas kedua berlangsung di Sydney, 10 Desember 2009. Survivor adalah ekspresi keberpihakan Dadang terhadap para korban bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Survivor, menurut Dadang, mengadopsi budaya tapa pepe pada zaman kerajaan dulu. Tapa pepe adalah aksi diam yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang di alun-alun keraton untuk menuntut keadilan kepada sang Raja. "Tapa pepe biasanya dilakukan jika sudah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah," Dadang menjelaskan.

Pematung Albara--yang karya serial wajah Presiden RI dipajang di titik nol Yogya--tak mau ketinggalan memanfaatkan lumpur. Kali ini "korban"-nya adalah kolektor kondang asal Magelang, Oei Hong Djien. Kejadiannya berlangsung di balik panggung utama penutupan Biennale Jogja X.

"Saya mau membuat patung Pak Hong Djien. Maukah dibuatkan negatifnya? Cukup lima menit saja," ujar Albara merayu Hong Djien. Kolektor itu mengangguk setuju. Albara pun kemudian membedaki wajah Hong Djien. Namun tiba-tiba Albara membenamkan wajah Hong Djien ke lumpur. Dalam waktu sekejap, terciptalah negatif patung wajah Hong Djien.

Meski terperanjat, Hong Djien sama sekali tak marah. "Edan. Ini bukti senimannya kreatif, cerdas," kata Hong Djien sembari mengumbar tawa. Hong Djien pun kemudian membubuhkan tanda tangan pada cetakan patung wajahnya itu.
Penutupan Biennale Jogja X juga diwarnai pemberian Lifetime Achievement Award kepada Kartika Affandi dan Ledjar Soebroto. Kartika Affandi adalah putri sulung maestro lukis Affandi. "Selain konsisten dengan dunia lukis hingga saat ini, Kartika Affandi punya tanggung jawab besar merawat lukisan karya Affandi," kata Soewarno Wisetrotomo, Steering Committee Biennale Jogja X. Sedangkan Ledjar Soebroto adalah kreator wayang kancil. Karyanya bahkan menjadi koleksi di sejumlah museum di negeri Belanda.

Panitia Biennale Jogja X juga memberikan Respect Award untuk Kelompok Sanggar Bambu, Rumah Seni Cemeti, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi. Sanggar Bambu dinilai punya peran besar dalam dunia seni rupa di Yogyakarta maupun di Indonesia. Rumah Seni Cemeti dinilai punya andil besar pada dunia seni rupa kontemporer. Sedangkan Taring Padi punya nilai lebih terhadap keberpihakan pada persoalan sosial dan politik rakyat kelas bawah. heru cn

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer

11 Desember 2023

Mengenang Musikus Bengal: Harry Roesli
Mengenang Harry Roesli dan Jejak Pengaruhnya di Budaya Musik Kontemporer

Pada 11 Desember 2004, musisi Harry Roesli tutup usia. Ia merupakan seorang pemain musik yang dijuluki Si Bengal dan pencipta lagu yang produktif.


Asyiknya Merakit Gundam Plastik

22 Oktober 2023

Asyiknya Merakit Gundam Plastik

Berawal dari anime serial Gundam, banyak orang tertarik merakit model kit karakter robot tersebut.


Khadir Supartini Gelar Pameran Tunggal "Behind The Eye"

30 Juni 2023

Konferensi pers  Solo Exhibition
Khadir Supartini Gelar Pameran Tunggal "Behind The Eye"

Pameran seni kontemporer ini dibuka untuk umum tanpa reservasi dan tidak diperlukan biaya masuk.


Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

28 Agustus 2021

Pameran tunggal Zahrah Zubaidah alias Zazu bertajuk Studi Karantina. (Dok.Orbital Dago)
Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

Zahra Zubaidah tidak menyangka, sekolah seni ternama itu terbatas hanya mengandalkan seni kontemporer.


Artjog MMXXI Digelar, Terapkan Konsep Pameran Luring dan Daring

8 Juli 2021

Karya seni instalasi karya sutradara Riri Riza berjudul Humba Dreams (un)Exposed dipajang di Artjog 2019. TEMPO | Shinta Maharani
Artjog MMXXI Digelar, Terapkan Konsep Pameran Luring dan Daring

Menparekraf Sandiaga Uno mengapresiasi penyelenggaraan Artjog sebagai ruang yang mempertemukan karya seni para seniman dengan publik secara luas.


Pertunjukan Daring: Gamelan, Bondres Bali, dan Nasib Pertunjukan Seni Tradisi

20 Februari 2021

Tari Legong Semarandana dalam pertunjukan Budaya Pusaka Kita: Bangga pada Budaya Nusantara yang digelar Wulangreh Omah Budaya., Sabtu, 13 Februari 2021. Tempo/Inge Klara Safitri.
Pertunjukan Daring: Gamelan, Bondres Bali, dan Nasib Pertunjukan Seni Tradisi

Omah Wulangreh menggelar pertunjukan seni dan budaya Pusaka Kita. Menampilkan musik gamelan Tari Legong Semaradana.


Sutradara Riri Riza Juga Bisa Bikin Seni Instalasi, Ada di Artjog

28 Juli 2019

Sutradara Riri Riza saat menghadiri gala premiere film Athirah di XXI Epicentrum, Jakarta, 26 September 2016. Film ini diperankan aktor diantaranya Cut Mini, Christoffer Nelwan, Indah Permatasari, Tika Bravani, dan Jajang C Noer. TEMPO/Nurdiansah
Sutradara Riri Riza Juga Bisa Bikin Seni Instalasi, Ada di Artjog

Seni instalasi karya Riri Riza bersama seniman lainnya berjudul Humba Dreams (un) Exposed ditampilkan di Artjog 2019 di Yogyakarta.


Sri Mulyani Buka Artjog 2019, Bicara Populasi dan Toleransi

26 Juli 2019

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka Artjog 2019 di Jogja National Museum Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
Sri Mulyani Buka Artjog 2019, Bicara Populasi dan Toleransi

Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka Artjog 2019 dan berbicara di panggung selama 10 menit tanpa teks.


Fakta Cooke Maroney, Art Dealer Tunangan Jennifer Lawrence

7 Februari 2019

Cooke Maroney (Artforum)
Fakta Cooke Maroney, Art Dealer Tunangan Jennifer Lawrence

Tunangan Jennifer Lawrence, Cooke Maroney, adalah seorang art dealer seni kontemporer. Ia pernah bekerja dengan beberapa tokoh seni Amerika.


Nuit Blanche Taiwan 2018, Museum Tanpa Dinding

7 Oktober 2018

Pengunjung Nuit Blanche Taipei 2018 berfoto di instalasi bertajuk Hug di kota Taipei, Taiwan, Sabtu, 6 Oktober 2018. (Martha Warta Silaban/ TEMPO)
Nuit Blanche Taiwan 2018, Museum Tanpa Dinding

Sejak Sabtu malam hingga pagi hari, pengunjung Nuit Blanche dapat menikmati 70 pertunjukan dan 43 instalasi seni yang tersebar di kota Taipei, Taiwan.