TEMPO Interaktif, Di ruang gelaran sempit itu, berdiri tiga rumah-rumahan kecil. Beratap papan dari plastik berwarna putih dengan rangka kayu tipis, rumah-rumahan itu tampak ringkih. Rasanya seperti ruang telepon umum tanpa dinding. Ketika masuk, hanya kepala kita yang tak tampak, tertutup oleh atap.
"Silakan Masuk dan Kenakan Headphone", begitu kalimat petunjuk yang tertulis. Sebuah instalasi berjudul Soundspace Yogya mampu membangkitkan nostalgia akan kota budaya itu. Bagaimana tidak, instalasi karya Cilia Erens tersebut dipenuhi oleh suara-suara yang mendominasi ruang publik Yogyakarta.
Soundspace Yogya pada "Landing Soon Seri 10" adalah satu dari sejumlah karya dari 13 perupa Belanda maupun Indonesia yang memamerkan karyanya di Erasmus Huis, Jakarta. Pameran Landing Soon hanyalah cuplikan dari Landing Soon-Landing Soon sebelumnya, yaitu seri 6 hingga 11. Nantinya, pameran berlangsung pada 21 Januari hingga 18 Maret.
Instalasi audible space, begitulah Cilia menyebut karyanya. Begitu pengunjung memakai headphone, ada berbagai macam nuansa pada tiga rumah plastik itu. Bagi Cilia, suara azan yang berkumandang lima kali dalam sehari adalah suara yang mendominasi ruang publik di kota itu. Melalui pengeras suara, suara azan menyebar ke seluruh kota, seperti karpet suara. Aspek-aspek kemanusiaan muazin (pelantun azan) menjadi perhatian baginya. Seperti ketika ia menemukan mereka berazan sambil berdehem atau terbatuk, begitu juga dengan cengkok azan yang bermacam-macam. Itu bagian favorit Cilia.
Instalasi berikutnya adalah suara sepeda motor yang dikendarai dengan gaya khas. Bagian dari lalu lintas kota dengan presentasi suara tinggi. Tak hanya itu, di sekelilingnya beradu suara pengamen dan canda sekelompok anak muda tertentu dengan bahasa yang khas. Di sudut yang berbeda, ada lagi suara gamelan ditabuh. Lalu beralih pada suasana sunyi sebuah perkampungan Yogya pada suatu surup. Suara jangkrik, gonggongan anjing, dan langkah kaki.
Rumah plastik terakhir adalah hujan. Ketika mendengar bunyi itu, seolah kita terjebak pada gubuk kecil, menunggu hujan sampai terhenti.
Baca Juga:
Dalam Landing Soon, perupa Belanda dan Indonesia bertemu dan berinteraksi dengan sesama perupa maupun komunitas di Yogyakarta. Selama rentang waktu tiga bulan, mereka sepenuhnya berproses melakukan uji coba dan berkarya. Landing Soon tak lain merupakan program kerja sama pertukaran yang diselenggarakan oleh Heden, Den Haag, Belanda, dan Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, Indonesia.
"Landing Soon bukan hanya eksperimen biasa, namun juga upaya untuk merawat kritik diri dalam penciptaan seni rupa," ujar Nirwan Dewanto, kurator. Menurut dia, lokalitas dan globalitas dipertanyakan dan diteliti ulang melalui tema, visi, maupun kondisi.
Lain halnya dengan Elizabeth de Vaal. Ia mulai mengeksekusi sebuah penyelidikan yang sangat pribadi. Bukan penyelidikan yang intelektual tentunya. Begitu mendarat di Yogyakarta, ia mencuci kaki 20 laki-laki dan perempuan sambil menggali kehidupan dan bagaimana mereka menjalaninya.
Hasil karyanya berjudul Desputed Area/Feet Washing pernah dipamerkan pada Landing Soon #9. Sebuah lukisan telapak kaki dengan berbagai motif hasil interpretasi Elizabeth sesuai dengan karakter dan pengalaman hidup si empunya setelah tergali.
Beda dengan Octora, yang mengeksplorasi tubuh pada sejumlah karyanya. Dua karyanya berjudul My Name is Miss Kim, yaitu sebuah boneka kayu perempuan, dan Private Invitation, kain sulam raksasa, adalah sebuah pembuktian ketertarikannya pada materi tubuh. Ketertarikannya pada wacana ini berpijak pada kesadaran bahwa tubuh adalah batas terakhir manusia terhadap segala ideologi. Tubuh, bagi Octora, adalah medan pertempuran antara jiwa dan sesuatu asing yang berasal dari luar, datang dan menginvasi terus-menerus.
Masih ada beberapa nama perupa yang tercuplik pada pameran kali ini. Arfan Sabran, Ellen Rodenberg, Wimo Ambala Bayang, Maarten Schepers, Urs Pfanenmuller, Ralph Kamena, dan lainnya mencoba memproduksi karya rupa yang tak mapan dari hanya benda seni.
Landing Soon adalah sebuah eksperimen yang tak biasa. Tak lain bagaimana agar seniman tak selalu berproses oleh apa yang diinginkan pasar. Lihat saja karya Sigit Bapak. Sebuah instalasi bebek yang tidak biasa. Unggas peliharaan itu berkaki tiga dengan bentuk segi tiga bervolume tak beraturan. Ada ekor mencuat entah di bagian ujung atau pangkal. Di situ pulalah tali rafia mengikat unggas aneh itu, yang kemudian ditancangkan pada sebuah pilar.
Berjudul Awas Bebek Galak, karya ini dipamerkan pada Landing Soon #8. Proyek-proyek yang dibangun Sigit adalah cara pandang terhadap sikap mengikuti tanggung jawab. Ia sangat suka memasukkan unsur parodi dalam setiap karyanya. Tak ayal, ia menerjemahkan sikap ini dengan istilah "membebek".
Melalui unggas yang hidup berkelompok ini, Sigit belajar dan mengamati perilaku manusia yang, menurut dia, terjebak dalam berbagai kebingungan atas identitas, pilihan hidup, maupun gaya ungkap. Pada sebuah kalimat penjelasnya yang sarat dengan satire, "Please talk with the duck that wants to be a dog".
l Ismi Wahid