Kegiatan penjarahan dan pembalakan liar itu kerap dijumpai nelayan di kawasan pesisir Sedati, Sidoarjo. Hasil jarahan kemudian secara sembunyi-sembunyi diangkut dengan truk ke luar Sidoarjo.
Dampak dari penjarahan, selain kawasan pantai terancam abrasi juga mengakibatkan populasi ikan tangkapan nelayan merosot.
Menurut Alimin, para nelayan berharap tetap ada semangat penanaman hutan mangrove. Nelayan juga berharap pelaku yang tertangkap tangan diserahkan kepada polisi. Selain dijatuhi hukuman yang setimpal, juga diharuskan membayar biaya pembelian bibit tanaman mangrove lima kali lipat.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sidoarjo menyebutkan pelaku mengincar mangrove jenis api-api karena nilai jualnya tinggi. Tanaman mangrove jenis api-api diolah menjadi bahan makanan, kosmetik dan obat-obatan. "Kayu tanaman mangrove mahal, diekspor ke Cina dan Korea," kata Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Sidoarjo, Septadi Koesmantoyo.
Kerusakan hutan mangrove terparah di pesisir Jabon dibandingkan Waru, Sedati, Buduran, Sidoarjo, dan Candi. Pelaku penjarahan mengincar tanaman berusia 10 tahun, berdiameter sekitar 30 centimeter.
Pelaku penjarahan mangrove diancam Undang-Undang nomor pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ancaman hukuman penjara 2-10 tahun dan denda Rp 2 miliar hingga Rp 10 miliar.
Baca Juga:
Untuk mencegah terus terjadinya pembalakan hutan mangrove, Pemerintah Sidoarjo menggandeng nelayan dan masyarakat pesisir menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Sebab, warga setempat lebih memahami wilayahnya, apalagi panjang pantai Sidoarjo mencapai 27 kilometer.
Pemerintah menanam bibit mangrove di kawasan yang rusak akibat pembalakan ilegal. Pada 2010 telah disebar sekitar 10 ribu bibit tanaman mangrove di Jabon. Sejumlah pesisir yang akan ditanami mangrove di antaranya daerah pesisir di Sedati, Waru dan Buduran. EKO WIDIANTO.