Namun mari sejanak membayangkan kota itu berubah sepi. Sunyi. Tak ada lagi kendaraan lalu lalang. Juga hingar bingar orang-orang.
Melalui pameran tunggalnya City Without People di Galeri Syang Art Space Kota Magelang, dari 19 Desember 2010-10 Januari 2011, pelukis Ivan Hariyanto berupaya menampilkan gambaran kota dari sudut yang berbeda. Kota, bagi Ivan adalah sebuah imajinasi tanpa orang. “Apa jadinya tanpa mereka,” kata Ivan dalam pembukaan pameran, Sabtu (18/12) malam kemarin.
Ide itu jelas tercermin dalam tiap karyanya. Pada lukisan berjudul “Dr Soetomo Street Sby #1” berukuran 200 X 180 sentimeter, Ivan menampilkan pemandangan jalan Embong Malang Surabaya yang lengang. Dalam kenyataan, hampir mustahil jalan utama di kota Surabaya itu sepi. Demikian juga lukisan “saudaranya”. Berjudul “Dr Soetomo Street Sby #2” berukuran sama, Ivan menampilkan cerita serupa.
Menurut dia, gambaran yang tertuang dalam lukisan adalah benar terjadi. Bedanya, dia sengaja menghilangkan obyek manusia. “(Sebenarnya) ada beberapa orang, tapi dihapus.” Adapun yang lain, lanjut dia, benar adanya.
Di sinilah ketajaman Ivan sebagai seniman realis dibuktikan. Dia hadirkan wujud kota dalam kondisi sebenarnya. Untuk menghasilkan karya seperti itu, dia gabungkan teknik melukis dan photography. Awalnya, obyek yang hendak dilukis dipotret. Setelah diedit dengan photoshop, gambar dicetak melalui digital printing. “Cetakan itu berfungsi sebagai sketsa lukisan,” kata dia.
Potret yang menjadi referensi kedua lukisan di atas misalnya, kata dia, diambil sore saat Hari Raya Idul Adha lalu. Waktu pengambilan itu dipilih untuk mendapat obyek senyata mungkin. “Saat itu sepi,” kata dia mengenang, “Jadi tak terlalu banyak obyek orang dihapus.”
Modifikasi hasil potretan itu dia lakukan dengan menambah obyek manekin. Boneka yang lazim dipajang di toko itu dipotret dan dipadukan saat proses editing di komputer. Hasilnya, dalam lukisan “Dr Soetomo Street Sby #1”, obyek itu tercipta sebagai bayang-bayang.
Untuk obyek lukisan, Ivan tak hanya berburu gambar di Surabaya. Melainkan juga di Semarang dan Jakarta. Suasana kota-kota itu dia pasang-pasangkan dalam kontras. Antara modern-kuno, sepi-ramai dan sunyi-semarak. Namun dia tak tinggalkan tema tanpa orang.
Kesan berlawanan itu dapat dilihat dalam lukisan berjuduk “Marba Building” dan “Art Semarang Street 1”, keduanya berukuran 180 X 160 sentimeter. Lukisan tentang suasana kota tua itu dia gambarkan dengan dominasi warna monokrom sehingga menimbulkan kesan unik dan kuno dalam lukisan.
Kesan itu tentu bertolak belakang dengan lukisan berjudul Crowded #1 dan #2, Kelapa Gading Plaza Jkt, Basuki Rahmat Street serta Cafe at Plaza Surabaya yang masing-masing berukuran 200 X 180 sentimeter. Lukisan itu pernuh warna dan terkesan ceria.
Ada 15 karya lukisan yang dipamerkan. Detailnya yang cermat membuat proses pembuatan cukup panjang. “Semuanya dibuat dalam setahun,” kata dia.
Dia mengatakan tema kota merupakan tema kedua dalam pamerannya. Sebelumnya, tema serupa pernah dia tampilkan di Surabaya. Hanya saja, dalam pameran itu, dia lebih banyak memadukan landskap kota dengan huruf dan angka.
Kurator pameran, Wahyudin, mengatakan, perkembangan kreatifitas seorang seniman sangat ditentukan dengan perkembangan teknik yang digunakan. Sesuai gerak jaman, perkembangan teknik itu tak lepas dari perkembangan teknologi. “Itu kontekstual,” kata dia.
Dalam karya Ivan, dia melihat ada kecakapan seorang seniman dalam memanfaatkan teknologi. Ivan, lanjut dia, telah memfungsikan teknologi sebagai alat untuk menopang daya kreatifitas. Ibarat juru masak, Ivan tepat memilih macam-macam pisau dapur yang banyak dijual di pasaran. Dan itu, tak semua juru masak mahir menggunakannya.
Proses lukisan Ivan, lanjut dia, adalah sebuah perbaduan antara realitas dan ide seniman pencipta. Ada ide dan gagasan yang tertuang dalam tiap karya yang dihasilkan. Kota yang biasa padat dan sesak, dalam imajinasi Ivan berubah menjadi kota tanpa orang yang sunyi dan sepi.
“Tidak sekedar menjiplak gambar,” kata dia, “Bagaimana bisa, kota sepadat Semarang dan Surabaya misalnya, digambarkan begitu sepinya.”
ANANG ZAKARIA