TEMPO.CO, - Hutan bagi warga Mesuji adalah sakral. Turun-temurun mereka begitu menghormati hutan Mesuji yang sekarang lebih dikenal dengan kawasan Register 45. Sejak zaman dulu, warga yang mendiami sekitar kawasan itu tak ada yang berani menebang pohon yang berada di hutan itu. “Menebang berarti ada denda. Jika tidak, bisa kualat keturunan kita. Itu hutan larangan,” kata Khustam, warga Tanjungraya, Mesuji, 18 Desember 2011.
Warga di tiga desa, seperti Sritanjung, Nipah Kuning, dan Kagungan Dalam, lebih memilih mendirikan perkampungan di luar kawasan itu yang berjarak sekitar 30 kilometer. Sejak dulu, mereka tidak berani masuk ke hutan yang dikenal angker dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Pohon mentru, trembesu, dan berbagai berbagai jenis pohon terjaga bersama kearifan mereka yang menjaga kawasan itu.
Menurut catatan yang ada, kawasan Register 45 pada tahun 1930 hanya seluas 33 hektare. Kawasan itu membentang dari perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung yang dibelah Sungai Mesuji. Hanya sejumlah keluarga di Talang Gunung yang berani mendiami kawasan itu sejak tahun 1940-an
Cerita hutan larangan itu berakhir ketika pemerintah, pada tahun 1986, memberikan hak pengelolaan hutan itu kepada PT Silva Budi. Mereka diberi hak mengelola “hutan larangan” itu seluas 10 ribu hektare. "Syaratnya, hanya boleh menanam tanaman industri seperti akasia dan sengon. Sawit, karet, dan tanaman pertanian lain tidak boleh ditanam di kawasan itu," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.
Perusahaan itu kemudian membabat kawasan itu untuk ditanam akasia. Hutan “larangan” yang disakralkan itu tidak lagi hening. Suara gergaji menderu-deru setiap hari menebangi pohon yang sejak dulu haram untuk ditebang. “Hutan menjadi gundul dan kami hanya jadi penonton. Tak ada lagi kehormatan dan mitos,” ujar Khustam.
PT Silva Budi kemudian berganti nama menjadi PT Silva Inhutani karena bekerja sama dengan PT Inhutani V. Perusahaan perkebunan itu makin ekspansif. Areal penguasaan mereka bertambah menjadi 25 ribu hektare hingga tahun 1997. Saat ini mereka menguasai sekitar 43 ribu hektare.
“Penjarahan” hutan yang dilegalkan pemerintah itu diperparah dengan kehadiran ribuan orang mengkaveling-kaveling kawasan itu. Mereka datang dari Jawa Barat, Bali, Palembang, dan sebagian daerah di Lampung. “Tidak ada warga Mesuji yang menjarah hutan Register 45. Kami tetap menghormati kawasan itu sebagai hutan larangan,” kata Winarti, penduduk asli Mesuji yang saat ini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mesuji.
Orang dari berbagai penjuru membabat hutan, menanaminya dengan singkong, karet, dan sawit. Mereka juga mendirikan rumah dan sekolah seperti di Moro-moro yang saat ini berpenduduk lebih dari 6 ribu jiwa. Tanah itu dikaveling-kaveling dan dijual dengan harga Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per hektare. Makelar tanah bergentayangan dan aktif mendatangkan warga dari berbagai daerah.
LSM Pekat, yang melaporkan insiden ke Komisi III DPR pada Rabu, 14 Desember 2011 lalu, adalah yang paling gencar menjarah dan menjual kawasan itu. Mereka kemudian mendirikan perkampungan yang mereka beri nama Pelita Jaya dan Pekat Raya. “Lahan di Register 45 memang sangat strategis karena berada di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera dari Simpang Pematang hingga Pematang Sawa di perbatasan,” katanya.
Kelompok yang mengkaveling lahan itu ada juga yang menamakan Mayarakat Penyelamat Hutan Indonesia. Tidak seperti namanya, kelompok ini dituding polisi juga turut menjarah hutan. “Mereka ikut memperjualbelikan hutan,” kata Kepala Polres Tulangbawang, Ajun Komisaris Besar Shobarmen, saat memaparkan kronologi kasus Mesuji di hadapan anggota Komisi III DPR RI di Aula Markas Polda Lampung, Sabtu, 17 Desember 2011 malam.
Wayan Sukadana, yang aktif bertutur soal cerita pembantaian Mesuji, juga pernah menjadi terpidana kasus penjarahan dan pengkavelingan lahan Register 45. Dia memiliki jejak rekam kerap menduduki lahan-lahan kosong dengan modus mendatangkan massa dari luar daerah. “Kami menemukan dia bermain di sejumlah kawasan. Kelompok Wayan menjual ribuan hektar lahan. Mereka yang mendiami di kawasan Register 45 itu sebagian korban Wayan Sukadana,” katanya.
Kini, “Hutan Larangan” itu tinggal mitos. Sepanjang mata memandang tampak gundul dan sebagian ditanami sinkong, karet, dan sawit. Permukiman penduduk berdiri. “Sekali lagi warga Mesuji hanya menonton,” kata Pejabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung.
NUROCHMAN ARRAZIE