TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasentiantono, melihat nasabah perbankan syariah perlu diproteksi agar terhindari dari euforia investasi emas yang berlebihan.
“Bank Indonesia sangat menyadari nasabah perbankan syariah masih dalam tahap awal dan belum cukup dewasa sehingga euforia emas berlebihan dan akhirnya terkoreksi,” ujar Tony saat dihubungi Tempo, Senin 2 Januari 2012.
Dalam transaksi emas, menurutnya, nasabah terkadang terpengaruh pada mekanisme pasar, di mana harga emas bisa naik atau malah turun. Jika harga naik, nasabah pun mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, jika harga turun, nasabah harus menanggung risikonya.
“Bank Indonesia takut koreksinya terlalu tajam sehingga menimbulkan hal kontraproduktif, nasabah malah menjadi panik dan jera,” katanya.
Karena itu Tony sepakat pada aturan yang akan dikeluarkan otoritas perbankan nasional untuk memperketat transaksi gadai emas di perbankan syariah.“Saya merasa bank sentral ingin memproteksi jangan sampai terjadi goncangan yang berlebihan, karena emas bisa naik tinggi sekali atau bahkan terkoreksi,” ucap dia.
Sebetulnya volatilitas harga emas adalah suatu mekanisme yang logis. Jangankan emas, harga minyak serta indeks harga saham gabungan juga mengalami penurunan akhir-akhir ini. Untuk orang yang sudah biasa menghadapi hal ini tentunya sudah menganggap volatilitas harga menjadi suatu yang lumrah.
“Namun, bisnis perbankan syariah di Indonesia belum cukup dewasa untuk menghadapi goncangan yang terlalu besar,” tuturnya.
Meski sejumlah perbankan syariah menyediakan layanan gadai emas, namun dia yakin angkanya belum terlalu besar. Karena memang jika dibuat persentase, bisnis perbankan syariah di Indonesia hanya 4 persen dari total perbankan di Indonesia.
“Kerugian memang belum besar, tetapi Bank Indonesia ingin menghindari kepanikan dan juga menjaga psikologis para nasabah,” ujar Tony.
SUTJI DECILYA