TEMPO.CO, Garut - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut, Jawa Barat, mendesak pemerintah daerah setempat menghapus pungutan biaya masuk sekolah. Alasannya karena alokasi anggaran pendidikan lebih dari 50 persen dari total anggaran daerah atau sekitar Rp 1,2 triliun dari jumlah anggaran daerah sebesar Rp 2,1 triliun.
“Harusnya sudah tidak ada pungutan apa-apa lagi,” ujar Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut, Helmy Budiman, kemarin.
Menurut dia, sejumlah kebutuhan sekolah sudah terakomodir oleh anggaran yang disalurkan tersebut. Misalnya, untuk kebutuhan siswa didanai dari BOS (bantuan operasional sekolah) yang bersumber dari pemerintah pusat dan ditambah dari provinsi sebesar Rp 18 miliar. Selain itu, juga ada bantuan untuk siswa miskin sekitar Rp 16 miliar.
Kebutuhan sekolah lainnya, seperti pembangunan ruang kelas rusak pun, telah diakomodir dalam dana alokasi khusus, seperti untuk SMP Rp 88 miliar. Sedangkan untuk pembangunan ruang kelas baru, seperti di tingkat SMA dan SMK, telah dialokasikan dalam anggaran daerah sebesar Rp 15,5 miliar dan SMP sebesar Rp 15 miliar.
Tak hanya itu, kebutuhan untuk pembelian raport seluruh siswa dari tingkat SD hingga SMA/SMK juga telah ditanggung oleh pemerintah dengan dana sebesar Rp 1,2 miliar. “Jangan sampai segala sesuatunya diuangkan hingga memberatkan para orang tua dengan dalih keputusan itu dibungkus atas kesepakatan sekolah dengan komite,” ujar Helmy.
Karena itu, Helmy mendesak agar Bupati Garut Aceng HM segera mengeluarkan aturan atau kebijakan atau larangan pungutan biaya penerimaan siswa baru. Dia juga mendesak agar bupati mengeluarkan aturan tentang trasparasi pengelolaan keuangan, sesuai dengan yang diamanatkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pendidikan. “Bila tidak ada aturan yang mengikat, saya khawatir kebocoran anggaran akan masih terjadi di sekolah,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut Elka Nurhakimah mengaku untuk penerimaan siswa baru tidak ada pungutan terutama di tingkat SMP. Pungutan itu hanya berlaku di sekolah rintisan bertaraf internasional dan sekolah menengah atas (SMA) dan SMK. “Untuk SMA, kan, tidak ada sumbangan seperti BOS, makanya diperbolehkan untuk memungut,” ujarnya.
Dia mengaku, anggaran yang digelontorkan pemerintah tidak dapat menutupi kebutuhan tiap sekolah. Menurut dia, dari anggaran sebesar Rp 1,2 triliun dihabiskan untuk membayar gaji guru sekitar Rp 900 miliar. “Kalau mau ada larangan agar sekolah tidak memungut, seharusnya Dewan membuat aturannya dari dulu,” kata Elka.
SIGIT ZULMUNIR