TEMPO.CO, Surakarta - Cerita mengenai perkelahian sering dituding menjadi sumber inspirasi tindak kekerasan. Tapi tidak untuk cerita silat karya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Banyak kalangan menilai cerita silat karangannya sarat akan nilai dan pesan moral.
Hal itu membuat Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, Solo, tertarik untuk menggelar pameran "Mengingat Kho Ping Hoo", 11-17 Agustus 2012. Mereka memamerkan sejumlah grafis ilustrasi buku cerita silat karya Kho Ping Hoo, yang dibuat oleh para ilustrator kepercayaannya.
Bagi penyelenggara, grafis ilustrasi merupakan salah satu bagian dari buku Kho Ping Hoo yang paling memungkinkan untuk dipamerkan secara visual. Grafis ilustrasi yang dipamerkan di galeri itu ada dua macam. Pertama adalah ilustrasi yang ada dalam sampul buku. Sementara yang kedua, ilustrasi yang ada di dalam buku, yang menggambarkan adegan-adegan tertentu.
Sejak masuk ke ruang pamer, pengunjung diajak menikmati suasana yang bernuansa oriental. Warna merah cukup mendominasi, ditambah beberapa hiasan lampion. Kebanyakan tokoh yang digambarkan dalam grafis merupakan karakter khas Tiongkok. Maklum, kebanyakan cerita silat karya Kho Ping Hoo memang mengambil setting Tiongkok.
Meski memiliki banyak kemiripan, ternyata ilustrasi pada buku cerita silat Kho Ping Hoo tidak hanya dibuat oleh satu orang. Pengarang yang meninggal 15 tahun lalu itu memiliki kolega yang terdiri atas beberapa ilustrator kepercayaan. Namun ilustrasi paling banyak dibuat oleh Sriwidjono dan Yohanes.
Kebanyakan, grafis yang dibuat oleh para ilustrator masih hitam-putih, menyesuaikan teknologi cetak saat itu. Goresannya dibuat dengan cukup detail. Desain berwarna hanya digunakan untuk ilustrasi yang menjadi sampul buku. Meski demikian, masih banyak sampul buku yang masih mempertahankan penggunaan satu warna.
Hampir semua grafis yang dipamerkan menggambarkan karakter tokoh asal Tiongkok sesuai cerita yang ditulis dalam buku karya Kho Ping Hoo. Padahal, baik Kho Ping Hoo maupun para ilustratornya, belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke tanah Tiongkok. Mereka saling mengisi dengan imajinasi yang seimbang.
“Kho Ping Hoo tidak pernah membatasi kami untuk ikut berimajinasi,” kata Yohanes, salah seorang ilustrator. Sebelum membuat ilustrasi, dia terbiasa membaca naskah buku yang sudah lengkap. Setelah itu, barulah dia memilih bagian cerita yang paling menarik untuk dibuat ilustrasi.
Dia terbiasa membuat tiga hingga empat ilustrasi dalam satu buku. Padahal, sudah ribuan jilid buku yang telah dibuat oleh Kho Ping Hoo sepanjang hidupnya. Artinya, para ilustrator juga harus mengimbangi produktivitas Kho Ping Hoo yang sangat luar biasa itu.
Tapi tidak semuanya. Beberapa ilustrasi juga menggambarkan karakter Jawa. Pengarang kelahiran Sragen itu memang sempat menulis beberapa buku dengan setting Jawa, seperti Geger Demak, Djoko Wulung, dan Geger Solo.
Pemerhati budaya, Sindhunata, menilai Asmaraman Kho Ping Hoo telah menjadi bagian dari sejarah sastra di Indonesia. Dia telah berhasil memproduksi ratusan judul buku cerita silat saat para penulis lain ‘hanya’ menerjemahkan buku-buku cerita silat asal Tiongkok.
Melalui cerita silat, Kho Ping Hoo mampu menanamkan nilai-nilai kepada pembacanya, seperti nilai keadilan, kearifan, hingga sikap ksatria. “Sulit untuk memberikan dogma melalui lisan. Tapi Kho Ping Hoo mampu menyampaikan melalui cerita,” kata Sindhunata.
AHMAD RAFIQ
Berita terpopuler lainnya:
Rhoma Irama Ancam Penyebar Ceramahnya
Tak Dapat Koalisi Partai, Jokowi Merasa Dikeroyok
PKS Dukung Foke, Apa Kata Hidayat Soal Jokowi?
Seberapa Penting Luna Maya Bagi Ariel
Dukungan PKS Dinilai Mencurigakan
Apa Mahar PKS untuk Foke?
Turboprop N-250, Pesawat Andalan Selanjutnya
Ditinggal PKS, Jokowi Pasrah
Isu SARA Foke Unggul, Isu Perubahan Jokowi Menang
Ini Strategi Foke-Nara di Putaran Kedua Pilgub DKI