TEMPO.CO, Surakarta - Banyak cara yang digunakan untuk memperingati Hari Ibu. Sebuah kelompok seniman di Surakarta, Padepokan Gurit Rabu Pon (Pagupon), memperingatinya dengan membaca geguritan. Geguritan yang disajikan dalam bentuk opera itu dipentaskan di Taman Budaya Surakarta, Jumat malam, 21 Desember 2012.
Geguritan merupakan seni membaca sastra berupa puisi berbahasa Jawa. Dalam pentas karya gurit berjudul Opera Gurit Tri Wanodya itu, geguritan dipadukan dengan gerak dan musik serta tata panggung yang apik sehingga terlihat lebih hidup dan segar. Dalam pementasan berdurasi sekitar sejam tersebut, empat seniman perempuan membacakan geguritan bergantian. Puisi tradisional karya Nyi Puncak Solo itu berisi tentang biografi tokoh perempuan sekaligus seorang ibu, Raden Ajeng Kartini.
Sutradara pertunjukan, S.T. Wiyono, mencoba menggarapnya hingga menjadi pertunjukan yang menarik. Selain dengan iringan musik karawitan, sekelompok penari memvisualisasikan geguritan yang berisi kisah Kartini semenjak kecil hingga tua, dan tutup usia. Para penari juga mencoba menggambarkan sebuah metamorfosa perempuan dari zaman ke zaman. "Pementasan ini adalah cara baru dalam membaca geguritan," kata S.T. Wiyono.
Gerak yang mereka bawakan berubah dengan dinamis, mengawalinya dengan gerakan lembut untuk menggambarkan sosok perempuan di masa lalu. Lambat laun terjadi transformasi gerakan yang cukup rancak dengan berputar dan melompat, menggambarkan sosok perempuan yang tetap eksis di era globalisasi.
S.T. Wiyono juga memasukkan sebuah fragmen komedi dalam pertunjukannya. Meski hanya lima menit, fragmen itu mampu membuat pementasan pesta geguritan tersebut terasa segar. Sejumlah tokoh perempuan juga diundang secara khusus untuk menyumbang geguritan dalam pementasan itu. Politikus Senayan, Poppy Dharsono, membacakan geguritan berjudul Ibu Pertiwi Nagih Janji. Sedangkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Baningsih Bradach Tedjokartono, membaca geguritan berjudul Tumbas Suwarga.
Menurut dia, seni tradisional itu memang harus disesuaikan dengan zaman agar tidak ditinggalkan. Termasuk memadukan seni sastra itu dengan berbagai unsur kesenian lain, seperti tari dan musik. Selama ini, S.T. Wiyono dikenal sebagai pegiat teater, teater tradisional, dan penulis naskah drama serta ketoprak yang cukup produktif. Dia bergabung dengan Padepokan Gurit Rabu Pon sejak awal tahun kemarin, setelah dua purna dari tugasnya sebagai pegawai di Taman Budaya Surakarta.
Tentu, membaca gurit tidak mudah untuk dilakukan, terutama oleh orang yang kurang menguasai bahasa Jawa. Hal itu dirasakan sepenuhnya oleh Poppy Dharsono, perempuan asal Jawa Barat tersebut. "Tadi terus berlatih selama perjalanan menuju ke Solo," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah ini.
Sedangkan Baningsih terlihat cukup piawai dalam membacakan guritnya. Selama ini, pengusaha batik dan kerajinan itu sudah terbiasa terlibat dalam kesenian tradisional ketoprak.
AHMAD RAFIQ