TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan berkebangsaan Kanada dan memilih tinggal di Belanda ini seperti kamus hidup tentang ulos, kain tenun etnis Batak. Ia fasih menjelaskan sejarah, teknik pembuatan, pewarnaan, dan filosofi dari setiap tahap pembuatan ulos.
Kecintaannya pada ulos telah membawanya mendalami ulos secara ilmiah, dan ulos menjadi subyek penelitiannya untuk meraih gelar doktor antropologi dari Universitas Leiden, Belanda. Sekitar 30 tahun dia melakukan penelitian tentang ulos.
Hasil disertasinya dibukukan dan diberi judul Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia pada tahun 2009. “Saya melihat ini (ulos) indah sekali. Ini luar biasa,” kata Sandra Niessen kepada Tempo yang menemuinya di anjungan Provinsi Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2013.
Setelah meraih gelar doktornya, Sandra semakin tergugah untuk melestarikan ulos sebagai warisan budaya Batak yang hampir punah. Ia bahkan belajar bahasa Batak selama satu tahun dan otodidak belajar bahasa Indonesia untuk memudahkan dirinya berkomunikasi demi menggugah hati masyarakat Batak dan pencinta ulos.
Selain itu, perempuan berdarah campuran Kanada dan Belanda ini mempunyai misi untuk mengkritik para antropolog yang alpa untuk berterima kasih kepada orang-orang yang menjadi subyek penelitian mereka.
Awalnya, Sandra tertarik meneliti soal ulos karena ia tidak suka ulos yang modern. "Itu menurut saya tidak punya nilai ulos yang lama. Kalau kita melihat di gambar-gambar ini (dalam buku Legacy in Cloth), ada ulos yang hebat yang dilakukan dulu oleh penenun-penenun," dia menjelaskan.
Ia melihat kain-kain ulos itu indah sekali. "Ini luar biasa," katanya. "Sekarang orang Batak hanya mau meniru dari Palembang, Sumatera Barat, di mana nilainya juga tinggi, tetapi orang Batak mempunyai kain yang hebat," katanya. Teknik membuat ini (Sandra menunjuk pada salah satu foto ulos tua yang dikoleksi oleh sebuah museum di luar Indonesia) tidak ada di daerah lain di Nusantara.
Keunikan ulos dibandingkan tenun lain, menurut Sandra, karena teknik pembuatan tidak ada di tempat lain dan rumitnya hebat. Sedikit kerumitan itu tergambar pada ulos Ragi Idup. Tenun ikat seperti itu tidak dibuat lagi.
Bahkan, di Barat, (pengoleksi ulos) ulos seperti ini mungkin tinggal lima atau enam ulos yang masih ada. Ini dapat terjual ribuan dolar. Jadi ulos ini sudah dilupakan di daerah Batak. Mereka pikir nilai ulos mereka rendah. Padahal sejarahnya superhebat.
Sandra mendapatkan ulos-ulos yang ada dalam foto-foto itu dari hasil mengumpulkan dari museum-museum di seluruh dunia. "Saya mencari sendiri. Ini karya saya selama 30 tahun. Saya cari di Belanda, Jerman, Prancis, Italia, Kanada, Amerika, dan Jepang.
Sandra punya trik khusus untuk menelusuri koleksi ulos-ulos langka ini di berbagai negara. "Saya menulis (e-mail) kepada museum. Boleh saya melihat koleksi kain Batak? Apalagi hampir semua museum sekarang online," katanya.
Ia berpendapat, kalau kita mau menolong Indonesia lewat Internet, kita dapat mengumpulkan semua kain yang berusia tua. "Saya berasal dari Kanada, dan saya tahu orang asli pribumi di sana. Mereka sering meminjam kain dan segala macam dari museum-museum yang menyimpan itu semua, dan mereka pakai itu waktu ada ritual, pesta. Kemudian setelah itu disimpan lagi di museum. Itu kerja sama antara museum dan penduduk asli," Sandra menjelaskan.
Sandra melihat itu sebagai sesuatu yang hebat, baik sekali. "Saya rasa ini waktunya untuk museum supaya mereka bisa menolong penduduk asli. Dulu mereka mengumpulkan secara baik, tidak ada yang salah, mereka membayar atau beli di pameran-pameran. Sekarang sudah tidak ada. Untung masih ada di museum. Jadi ini bisa dipinjam lagi lewat Internet," katanya.
"Melalui buku ini, saya menyampaikan kepada orang-orang Batak di kampung-kampung, kalau mereka dapat melihat lagi warisan mereka, mereka akan mengatakan, 'Wah… hebat, ini warisan kami. Kami tidak tahu. Kami hanya cari benang emas yang punya rupa, seperti dari Palembang. Tapi, yang benar-benar dari Batak, kami tidak menyadarinya'.”
Lalu, apa yang memotivasi Sandra sehingga peduli dengan ulos dan budaya Batak? Sebagai antropolog, Sandra bisa memilih apa saja di seluruh dunia. Sebenarnya kebetulan saja dia meneliti kain Batak.
"Dalam perasaan saya, itu tidak begitu penting. Saya juga bisa ke Toraja dan meneliti, atau ke Jawa karena saya suka sekali batik. Saya juga suka ke Bali. Saya suka sekali semua yang ada di Nusantara ini. Tetapi kebetulan saya ada di Batak."
Ia mengaku suka menggali sampai mendalam. Setelah selesai bekerja, dia merasa secara etis tidak boleh ke daerah Batak untuk mengambil semua informasi, membuat buku, menjual kepada orang kaya, dan dapat gelar sendiri. Lalu, "Terima kasih orang Batak! Sementara saya melihatnya di sini semua sudah mau punah. Dalam hati saya, sikap seperti itu, kan, kurang baik. Itu sering dilakukan antropolog juga. Menurut saya, etika ini belum masuk benar dalam dunia antropologi."
Selama ini Sandra bekerja sendiri. "Saya tidak punya posisi di universitas. Saya bebas. Jika saya di universitas, saya tidak akan dapat dukungan karena mereka anggap ini bukan riset. Menurut saya, ini salah. Ini yang membuat antropologi buruk. Seharusnya tiap antropolog mengerti ada tugas untuk menyampaikan dan membagi dengan orang dari mana mereka mendapatkan informasi itu. Jadi saya tidak membuat yang hebat, kecuali dunia ini yang jelek."
"Saya hanya buat yang biasa, kalau kita dapat sesuatu dari orang, kita harus bilang terima kasih. Itu saja. Jadi, saya heran, begitu banyak perhatian, padahal saya hanya membuat yang seharusnya semua manusia buat. Kita mendapatkan sesuatu, kita bilang terima kasih. Jadi kami buat film tentang kain Batak, kami mau kembalikan film itu kepada orang Batak dari mana kami mendapatkan informasi itu."
"Dan mereka berhak melihat film mereka. Film itu didasarkan naskah Batak dari dulu. Kami juga akan membawa naskah itu dalam buku saya tentang film ini, dan mereka boleh juga mendapatkan filmnya. Kami mencari sumbangan dari orang kota yang mampu untuk memberikan dana kepada kami untuk kami sampaikan film ini kepada orang-orang yang mampu."
"Mas MJA Nashir (rekan kerja Sandra) tidak mendapatkan gaji. Dia kerja dari hatinya. Saya juga tidak dapat uang. Tetapi untuk apa hidup ini. Bukan untuk mencari uang, ya, menurut saya. Hidup ini untuk mengikuti hati. Jadi kami berdua memang 'gila'. Sekarang kegilaan kami mau kembalikan itu kepada orang Batak di kampung."
MARIA RITA