TEMPO.CO, Jakarta - Musikus Belanda keturunan Indonesia Daniel Sahuleka ternyata pernah tidak naik kelas. Gara-garanya adalah musik. "Aku kepikiran Jimi Hendrix, Stevie Wonder, dan Martha Reeves pas belajar, jadi gak konsen," kata Daniel, Senin dua pekan lalu, di Jakarta, lantas tertawa.
Di usia belia, Daniel memang sudah dicekoki musik country 1950-an, seperti lagu-lagu Eddy Arnold dan Bill Monroe, oleh ibunya. Hampir setiap hari ibunya memutar radio Jerman yang memutar lagu country untuk militer Amerika yang masih bertugas di Jerman.
Ketika beranjak dewasa, Daniel amat menyukai karya-karya Stevie Wonder, Marvin Gaye, Junior Walker, dan Martha Reeves, yang semuanya dari Amerika. Terilhami oleh idola-idolanya itu, ia pun bertekad akan menjadi seniman ketika dewasa nanti.
Namun, gara-gara keinginan itu pula, Daniel tidak naik kelas saat kelas V sekolah dasar. Ia pun kena marah ayahnya. "Jangan pernah berpikir jadi musisi, cari kerja profesi. Kamu mau jadi tukang sapu?" ujar Daniel, menirukan ucapan ayahnya saat itu.
Namun rupanya ayahnya tak tega juga melihat Daniel sedih. Ia dibelikan gitar akustik untuk menjadi penyemangat belajar. Bukannya belajar, Daniel malah semakin gandrung dengan musik. Sebenarnya hobi bermusik ini menurun dari ayahnya juga. Sang ayah juga keranjingan gitar. “Setiap pagi ayah bermain gitar. Ia juga mengajari aku gitar My Bonnie Lies Over the Ocean.”
Setelah mahir bergitar, Daniel remaja membuat kelompok musik dengan lima temannya. Namanya Black Eyes. Tapi, ia tak menjadi vokalis, melainkan basis. Suaranya dinilai terlalu perempuan dan tinggi.
Grup ini memainkan lagu-lagu The Beatles dan The Rolling Stones. Band Daniel ini tampil pertama kali di sebuah kafe di Bocholt, kota di Jerman Barat yang dekat perbatasan Belanda, pada 12 Desember 1963. Itulah panggung perdana Daniel. "Si pemilik kafe suka musisi berwarna kulit cokelat seperti aku," katanya.
Alat musik pertama yang Daniel pelajari sebenarnya juga bukanlah gitar—yang kini selalu menemaninya di atas panggung—melainkan ukulele. Daniel, saat berusia 10 tahun, belajar dari Buce, orang Indonesia yang juga tetangganya di Winterswijk, Belanda.
HERU TRIYONO