TEMPO.CO, Jakarta - Amrus Natalsya bersama sejumlah mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) mendirikan Sanggar Bumi Tarung pada pertengahan 1961. Selain Amrus juga ada Djoko Pekik, Ng Sembiring, Isa Hasanda, Misbach Tamrin, Kuslan Budiman, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, Harmani, dan Haryatno. Mereka mendirikan sanggar di bekas tobong pembakaran gamping, berseberangan jalan dengan gedung kampus ASRI yang kini menjadi gedung Jogja National Museum.
Menurut Amrus, 80 tahun, ia dan teman-temannya mendiri Bumi Tarung untuk menegakkan prinsip 1-5-1 sebagai pedoman berkesenian para perupa. 1-5-1 adalah prinsip Lekra dalam berkesenian yaitu menempatkan politik sebagai panglima sebagai dasar lima kombinasi kerja: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Untuk mematuhinya, diperlukan metode turun ke bawah atau turba. Oleh karena itu semua anggota Bumi Tarung harus menjadi anggota Lekra.
Bumi Tarung menolak aliran abstrak dalam seni rupa dan memilih mengusung aliran realisme revolusioner. Karya-karyanya lebih banyak menyorot isu buruh dan tani. Ketika Bumi Tarung menggelar pameran perdananya pada 1962, Amrus memajang lukisan Tangan-tangan yang Agung. Lukisan tentang buruh ini menggambarkan sistem kapitalis menjadikan manusia layaknya robot. Tema petani tampak dalam lukisan Peristiwa Djengkol, Melepas Dahaga di Mata Air yang Bening, dan Mereka yang Terusir dari Tanahnya. Ketiga lukisan Amrus itu menggambarkan petani yang menjadi korban sistem feodal. Alasannya, "Lukisan abstrak hanya mampu dikonsumsi golongan intelektual, kelas atas. Sedangkan sebagian besar rakyat Indonesia masih miskin dan rendah pendidikannya," ujar Amrus.
Keberadaan Bumi Tarung sempat memicu polemik. Apalagi sejumlah karyanya yang keras dan radikal. Maklum, karya mereka memang sarat "pertarungan" petani dan buruh yang melawan penindas. Yang paling mencolok adalah lukisan cukil kayu Bojolali karya Kusmulyo. Di sana digambarkan sejumlah petani membawa dan mengacungkan celurit melawan "tujuh setan desa"--istilah yang dipakai Barisan Tani Indonesia untuk menyebut tujuh musuh petani. (Baca selengkapnya di Majalah Tempo edisi 30 September 2013)
TIM TEMPO
Topik Terhangat
Edsus Lekra |Mobil Murah | Senjata Penembak Polisi | Guyuran Harta Labora | Info Haji
Berita Terpopuler
Miss World 2013, Megan Young Asal Filipina
Megawati: Mbok Jangan Terlalu Tegang Dik Jokowi
PDIP Tak Tertarik Manuver Amien Rais Soal Jokowi
Mega: Gaji Pak Jokowi dan Ganjar Berapa?
Vania Larissa Masuk Tujuh Besar Miss World 2013