TEMPO.CO, Magelang - Budayawan Remy Sylado mengkritik penggunaan istilah China yang dianjurkan oleh Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina di Jakarta. Menurut dia, istilah itu merupakan pemaksaan yang bersifat politis. Dia merujuk pada terbitnya surat edaran yang dikeluarkan Kedubes RRC di Jakarta kepada sejumlah media massa. Isi surat edaran tersebut menyerukan media menggunakan istilah China, bukan Cina.
Remy menyayangkan sejumlah media tunduk begitu saja terhadap surat edaran itu. Sebaliknya, dia mengapresiasi media yang memilih menggunakan istilah Cina. Ejaan China, kata dia, mengikuti ejaan dan lafal Bahasa Inggris. “Biarkan pengucapan istilah Cina sesuai dengan cara orang Melayu melafalkannya,” kata dia dalam seminar membahas Cheng Ho dan Nusantara di Hotel Manohara, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada Minggu, 20 Oktober 2013. Ini merupakan rangkaian acara Borudur Writers and Cultural Festival, 17-20 Oktober 2013.
Baca Juga:
Lebih lanjut Remy menyebutkan, pemaksaan pelafalan China merusak juga Bahasa Indonesia. Ia lantas mengkritik orang Indonesia yang “sok Inggris” karena melafalkan Cina menjadi China. Hal ini, menurut dia, menggambarkan orang Indonesia tidak percaya diri terhadap bahasanya. Kata Cina ada dalam kamus Bahasa Cina dan aksara Cina. Remy mencontohkan kata Zhongguo atau dialek Hokiannya Tiongkok sebagai Cina, bukan China.
Dia menambahkan, kedutaan lain tidak ada yang campur tangan ihwal penyebutan negara mereka dalam Bahasa Indonesia. Misalnya, Kedubes Belanda di Jakarta tidak pernah memaksa Indonesia untuk mengganti kata Belanda menjadi Netherlands. Belanda, kata dia, merupakan penyebutan salah lidah orang Indonesia terhadap istilah Holland.
Begitu pula dengan Kedubes Prancis, yang tidak pernah memaksa Indonesia mengganti kata Prancis menjadi France. Kedubes Jepang juga melakukan hal yang sama. Padahal Malaysia menggunakan istilah Jepun untuk negeri Jepang.
Presiden International Zheng He Society Cheng Ho Cultural Museum, Melaka, Malaysia, Tan Ta Sen, mengatakan tidak mempermasalahkan penggunaan istilah Cina, China, Tiongkok, atau Zhongguo. Menurut dia, orang bebas menggunakan istilah apa pun merujuk ke negara Cina asalkan tidak bertujuan merendahkan. “Silakan saja ada perbedaan, yang penting saling menghargai,” kata dia.
Guru Besar Chinese Studies Jurusan Sastra Cina, Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara, Abdullah Dahana juga punya pendapat yang sama. Ia sepakat dengan penggunaan istilah Zhongguo. Malaysia, menurut Dahana, menggunakan istilah China. Tapi, mereka melafalkannya bukan China seperti versi Bahasa Inggris, tapi Cina seperti dalam pelafalan orang Melayu.
SHINTA MAHARANI
Berita Terkait
Candi Prambanan Gelar Lomba Foto Internasional
Pameran Foto Karya PFI Digelar di Yogyakarta
Dari Mendur untuk Sejarah
Melukis Bali yang Berubah
Pastika: Bung Karno Titisan Dewa Wisnu