TEMPO.CO, Jakarta - Eksplorasi menjadi salah satu kunci pendorong peningkatan produksi minyak dan gas bumi. Namun, menurut Indonesia Petroleum Association (IPA), saat ini nilai investasi dan realisasi pengeboran eksplorasi di Indonesia masih rendah.
“Dari target pengeboran eksplorasi 206 sumur hingga April, yang realisasi baru 23 sumur atau sekitar 11 persen. Kalau (situasinya) seperti ini terus, tentu impor minyak akan sulit dikurangi,” kata Wakil Ketua IPA Sammy Hamzah di Jakarta, Senin, 5 Mei 2014.
Realisasi pengeboran eksplorasi ini jauh lebih rendah dibanding realisasi pengeboran sumur pengembangan dan pengerjaan ulang sumur. Pada periode Januari hingga April 2014, realisasi pengeboran sumur pengembangan telah mencapai 33,4 persen, dengan pengeboran 434 dari target 1.300 sumur. Sedangkan realisasi work over sumur telah mencapai 24,7 persen, dengan pengeboran 245 sumur workover dari target 989.
Sammy menambahkan, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,4 persen per tahun, Indonesia akan kekurangan pasokan migas sekitar 2 juta barel pada 2025. Untuk mengatasi kekurangan ini, menurut Sammy, hanya ada empat cara: enhanced oil recovery, pemanfaatan gas nonkonvensional, eksplorasi migas konvensiona, dan impor. (Baca juga: Ekonomi Melambat, Impor Migas Tetap Tinggi)
"Tetapi impor bukan alternatif yang kami inginkan, karena dampaknya akan menggerus devisa dan menekan nilai tukar rupiah. Kalau mau mengatasi impor, harus digalakkan eksplorasi," kata Sammy.
Pada sisi nilai investasi, data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat investasi eksplorasi masih jauh lebih rendah dibanding pengembangan dan produksi. Sepanjang 2013, investasi untuk eksplorasi sebesar US$ 2,97 juta atau 14,5 persen dari total investasi migas pada 2013 yang mencapai US$ 20,39 juta. Sedangkan investasi untuk produksi pada periode tersebut mencapai US$ 11,86 juta dan investasi pengembangan US$ 4,18 juta.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE