TEMPO.CO, Yogyakarta - Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) mendesak agar Penghargaan Pluralisme yang diberikan kepada Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X segera dicabut. Alasannya, Sultan dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan tindak kekerasan dan intoleransi di wilayah DIY. Bahkan masalah ini terus terjadi. Penghargaan tersebut diberikan oleh Jaringan Antar-Iman (JAI) kepada Sultan pada pertengahan Mei lalu di Papua.
"Kami minta JAI untuk mencabut gelar itu. Kami menolak Sultan mendapat penghargaan sebagai tokoh pluralisme," kata Koordinator Makaryo Benny Susanto saat dihubungi Tempo, Ahad, 1 Juni 2014.
Benny pun mencontohkan beberapa kasus kekerasan dan intoleransi yang baru saja terjadi. Kasus yang masih menjadi sorotan adalah tindak kekerasan dan intoleransi terhadap jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, pada Kamis malam, 29 Mei 2014. (Baca: Jaringan Antar-Iman Kecam Kekerasan Agama di Sleman)
Tiga hari berselang, kasus kekerasan dan intoleran kembali berulang pada Ahad hari ini. Sasaran kali ini adalah Gereja Pantekosta El Shaddai di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, karena tidak berizin.
Sebelumnya masyarakat Katolik di Gunung Kidul juga terancam batal menggelar peringatan Paskah nasional. Sebab, mereka diintimidasi organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan agama yang akan membubarkan acara itu.
Menurut Benny, kasus-kasus tersebut semakin menambah daftar panjang kasus kekerasan dan intoleransi yang terjadi di wilayah DIY. Hingga saat ini diperkirakan berjumlah 22 kasus. Kian banyaknya kasus kekerasan tersebut mendorong Makaryo mendeklarasikan Jogja Darurat Kekerasan pada 7 November 2013 di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta.
"Kalau JAI tidak mencabut, kami minta jaringan JAI keluar dari Makaryo. Penghargaan itu tidak kredibel," kata Benny.
Koordinator JAI Elga Sarapung menegaskan tidak akan mencabut gelar tersebut. Alasannya, penghargaan yang telah diberikan mengandung konsekuensi bagi penerima untuk berani menghadapi persoalan-persoalan intoleransi di daerahnya.
"Penghargaan itu memang tidak 100 persen menjamin penerima telah menjaga pluralisme. Tapi ada pekerjaan rumah yang melekat untuk menyelesaikan persoalan ke depan," kata Elga.
JAI menilai adanya kasus-kasus intoleran di DIY bukan berarti Sultan tidak melakukan tindakan apa pun. Tindakan telah dilakukan Sultan, tapi macet di Kepolisian Daerah DIY yang tidak mampu mengusut tuntas.
"Jadi Makaryo jangan hanya menuntut Sultan, tapi mestinya bekerja sama dengan Sultan," kata Elga.
JAI melakukan pendataan terhadap Sultan sebagai kandidat penerima Penghargaan Toleransi sejak 2010 lalu. Lembaga itu menyoroti soal kebijakan Sultan yang menghargai pluralisme. Penghargaan itu diberikan kepada Sultan pada pertengahan Mei lalu di Papua. Selain Sultan, penghargaan serupa juga diberikan kepada Gubernur Kalimantan Selatan dan Bupati Wonosobo pada waktu yang sama.
Berdasarkan data JAI, anggota JAI yang bergabung di dalam Makaryo adalah Interfidei dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). "Jadi Makaryo itu lokal, sedangkan JAI itu nasional," kata Elga.
Meski demikian, bertambahnya kasus intoleransi di wilayah DIY juga menjadi catatan JAI. "Entah ke depannya bagaimana Yogyakarta," kata Elga.
PITO AGUSTIN RUDIANA