TEMPO.CO, Bandung - Dua orang ibu bersama tiga anaknya tampak membasuh mukanya dengan air jernih yang keluar dari mata air Pangsiraman Situ Cisanti, lalu mereka masuk ke sebuah bangunan mirip pos satpam yang di dalamnya terdapat makam. Pangsiraman Situ Cisanti di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Ahad, 14 Desember 2014 cukup ramai dikunjungi penziarah dan wisatawan.
“Selalu ada peziarah yang datang ke sini, mereka memanjatkan doa di makam ini, tapi mohon maaf saya tidak mengizinkan Anda memotret di area makam,” ujar Mang Atep, juru pelihara makam kepada saya.
Entah mulai kapan kebiasaan warga berziarah di kawasan Arboretum Gunung Wayang Windu itu, namunwarga meyakini mitos yang menyebutkan kawasan Cisanti merupakan tempat petilasan Sembah Dalem Dipati Ukur yang merupakan tokoh sejarah Sunda. Ia adalah Wedana para Bupati Priangan bawahan Mataram pada abad ke-17 yang ikut memimpin sebuah pasukan besar untuk menyerang Belanda di Batavia (1628) atas perintah Mataram.
Suasana mistis di wanawisata pegunungan Bandung Selatan itu terasa dengan adanya makam Pangeran Ranggawulung Mayang Ciwe di dekat mata air Pangsiraman, Situs petilasan Dipati Ukur, dan Pangeran Jagatrasa Situ Cisanti merupakan danau buatan yang menampung air dari 7 mata air utama Sungai Citarum. Yakni mata air Pangsiraman, Cikolebere, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung, dan Cisanti. Warga sekitar menyebut kawasan mata air ini dengan sebutan terhormat, yaitu mastaka Citarum atau kepala Citarum.
Mang Atep bercerita, setiap mata air konon memiliki kesaktian. Misalnya mata air Pangsiraman menjadi tempat mandi bagi mereka yang ingin mencari jodoh, jabatan atau kekayaan.Air Cikahuripan untuk mendapatkan ketenangan batin, air Cikawadukan untuk memperoleh kesaktian. Mitos ini masih tetap menjadi cerita di kalangan masyarakat Sunda. “Bahkan, masih ada sejumlah pejabat yang datang ke sini untuk mandi di sejumlah mata air di Situ Cisanti,” kata Mang Atep yang enggan menyebut nama-nama pejabat itu.
Situ Cisanti seluas 7 hektare itu dikelilingi perkebunan Talun Santosa, puncak Gunung Wayang, Windu, dan Gunung Rakutak. Udaranya dingin dan mudah berkabut. Di pagi hari, ketika matahari menyinari bagian tengah danau dan meninggalkan garis cahaya keemasan di rerumputan pinggir danau. Kabut tipis dan gulungan awan hitam memayungi hutan di punggung dan puncak gunung.
Wisatawan umumnya melakukan hiking mengelilingi pinggiran danau atau ke hutan-hutan di punggung bukit, berperahu keliling danau, makan bersama atau botram, atau sekadar kongko bersama teman-teman sambil melepas penat melihat kebun saya dan pohon kopi.
Jarak menuju Situ Cisanti sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Bandung. Kondisi jalan menuju tempat wisata sebagian besar sudah mulus beraspal dan beton. Beberapa ruas jalan masih jelek namun jaraknya pendek saja karena pengerjaan yang belum selesai. Tiket masuk ke kawasan itu, Rp 5.000 per orang dan parkir kendaraan Rp 2.500. Tidak ada rumah makan, hanya warung-warung kopi dan beberapa pedagang makanan pikulan di sekitar danau.
Setelah dua jam berlalu, dua perempuan tadi dan tiga anaknya yang tadi masuk ke area makam tampak keluar. “Kami sekeluarga rutin atang ke sini untuk memanjatkan doa bagi para leluhur dan memohon segala kebaikan untuk keluarga. Kalau anak-anak hanya untuk berwisata,” kata Rina, 40 tahun, warga Kabupaten Bandung.
Kabut mulai turun gunung, meski jarum jam di arloji saya baru bergeser dari angka dua. Awan hitam memayungi Arboretum Gunung Wayang Windu. Itu pertanda saya harus segera turun gunung. Khawatir hujan yang akan membuat perjalanan pulang saya terganggu akibat lumpur dari kebun kentang dan sayuran.
PRIMA MULIA| ENI S
Terpopuler:
Dihujat FPI Soal Natal, Jokowi Dibela Ketua NU
Pilot Dimaki Dhani, Garuda: Baru Pertama Terjadi
Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad
Ketua PBNU: Ucapan 'Selamat Natal' Tak Haram
Ini Nama-Nama Penerima Aliran Dana Hambalang
Jokowi Natalan di Tiga Kota Papua