TEMPO.CO, Yogyakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan terkesima dengan orasi budaya yang menggugah dari pegiat teater yang juga pegiat pencak silat, Whani Darmawan. Ini terjadi dalam acara Pra-Jambore Pencak Nusantara di Pasar Ngasem, Yogyakarta, Sabtu petang, 14 Februari 2015.
Whani yang juga anggota Teater Gandrik bersama Butet Kertaradjasa memaparkan orasi bertajuk “Silat sebagai Daya Hidup yang Menghidupi”. Dalam tajuk orasinya, Whani mengurai cukup panjang pokok pikirannya tentang silat yang dianggap bisa menjadi satu alat pembentuk karakter manusia Indonesia.
Ketika degradasi moral kian kentara dalam bentuk korupsi merajalela, cara berpolitik kotor, disiplin lalu lintas, dan hal negatif lain, "Tidak bisakah kita seperti Jepang dengan Tokugawa System-nya?" ujar Whani.
Perbandingan itu diungkapkan Whani untuk mempertanyakan komitmen pemerintah sejauh ini dalam memperlakukan dan mengelola simpul kearifan lokal—seperti tradisi pencak silat—sebagai patron nilai yang bisa diterapkan. Whani melihat Jepang berhasil muncul sebagai bangsa dengan peradaban modern karena disokong kultur lokalitas kuat, yang diintegrasikan dalam sistem pemerintahannya melalui Tokugawa System.
Dalam tata nilai Tokugawa itu, terdapat empat pilar religi shintoisme, Buddhisme, taoisme, dan konfusianisme. Pada pilar-pilar itu terkandung ajaran nilai sangat lengkap: keberanian, kejujuran, kepatuhan, keikhlasan, dan nilai duniawi serta sosiologis kemasyarakatan.
"Bisakah nilai pencak silat kita aplikasikan langsung untuk membangun karakter?" ujar Whani.
Whani pun menyindir nilai-nilai positif pencak silat soal keberanian, kejujuran, dan fairplay yang belum banyak terlihat. Ini karena bidang prestasi masih menggunakan tolok ukur perolehan medali, sehingga pencak silat justru makin terperosok dalam pemaknaan sempit bela raga.
"Antar-perguruan tawur malah ada kelompok silat terkooptasi mendukung gerakan politik tertentu dan menjadi partisan kekerasan," katanya.
Melihat falsafah dalam dunia pencak silat atau tradisi lokal lain yang pencapaiannya hanya bersifat verbal dan kuantitatif itu, sebagai pegiat silat, Whani berharap ada langkah transisional untuk menjadikan nilai ideal silat tercapai. Yakni satunya pikir, rasa, dan raga.
"Salah satunya memasukkan silat dalam kurikulum wajib atau ekstrakurikuler di sekolah dasar dan menengah," kata Whani.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pun mengapresiasi pandangan Whani yang memuat unsur otokritik antara silat dan kondisi kini masyarakat. Mantan Rektor Universitas Paramadina itu mencatat tiap pokok pikiran orasi Whani dalam kertas-kertas kecil yang dibawanya. "Tapi untuk melakukan hal-hal yang sifatnya wajib, seperti masuk kurikulum, perlu kajian."
Anies justru menilai silat lebih perlu didorong agar punya daya tarik dan tak ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian, transformasi falsafah nilainya tercapai. "Persoalannya sekarang, bagaimana membuat silat ini menjadi 'keren'," ujar Anies.
PRIBADI WICAKSONO