TEMPO.CO , Jakarta: Suhu politik di dalam Keraton Yogyakarta makin bertambah panas. Selasa, 5 Mei 2015 Sultan Hamengku Buwono X menganugerahi puteri sulungnya, GKR Pembayun, dengan nama baru, GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Penganugerahan ini disebut-sebut sebagai prosesi pengangkatan puteri sulungnya sebagai putera mahkota.
Pekan lalu, Raja Keraton Yogyakarta itu mengeluarkan Sabda Raja. Isinya adalah penghapusan gelar sebagai pemimpin agama (Khlaifatulah) dan pengubahan gelar nama Buwono menjadi Bawono. Sabda Raja itu langsung mendapat penolakan dari kerabat keraton lain, terutama dari saudara-saudara Sultan HB X yang berbeda ibu.
Banyak pihak khawatir ontran-ontran di Keraton Yogyakarta ini. berdampak pada status keistimewaan yang diatur Undang-Undang Keistimewaan DIY Nomor 32 tahun 2012. “Status keistimewaan dalam UU itu bukan tak mungkin diamandemen lagi, dan bisa berdampak besar termasuk pada nasib dana keistimewaan,” ujar tokoh masyarakat Mantrijeron yang juga pimpinan lembaga Jaringan Masyarakat Peduli Keistimewaan, ‘Ayodya’ Kyai Haji Muhammad Jazir.
Jazir memprediksikan, dana keistimewaan Rp 500 miliar setahun berpotensi dihapus dari paket UU Keistimewaan ketika kondisi internal keraton terbelah. Padahal, pemberian UU Keistimewaan pada tahun 2012, dalam konteks melibatkan aspek kesejarahan DIY terutama di masa kepemimpinan Sultan HB IX. Termasuk keistimewaan dalam segala tatanan adat yang dianut keraton.
“Jadi jika di satu sisi Sultan HB X ingin perubahan paugeran itu, sementara lainnya tak mengakui perubahan itu, persepsinya ada kerajaan baru dan UU Keistimewaan bisa ditinjau ulang termasuk dana keistimewaan,” ujarnya.
Menurut Jazir, warga tidak terlalu mempermasalahkan bagaiman keraton menyikapi paugeran itu asalkan solid dan jangan sampai terbelah. Dikhawatirkan ketika tatanan adat internal keraton sudah masuk ranah penyelesaian politik atau hukum, katanya, akan menjadi komoditas yang bisa dimanfaatkan kelompok tertentu.
Terutama bagi partai-partai politik, katanya, pecahnya keraton ini bisa jadi komoditas untuk berbagai kepentingan, yang jadi korban masyarakat.
Ketua Dewan Pembina Paguyuban Dukuh se Gunungkidul ‘Janaloka’ Sutiyono menuturkan Sultan HB X sebagai raja sekaligus gubernur memang sah-sah saja mengeluarkan sabda raja termasuk mengubah paugeran juga gelar.
“Kami berharap raja mempertimbangkan dampak di masyarakat akibat polemik perubahan itu, tak hanya soal dana keistimewaan tapi juga soal pengelolaan tanah-tanah adat keraton nanti,” ujarnya.
Sutiyono menuturkan, selama ini masyarakat kompak memperjuangkan UU Keistimewaan dengan harapan terwujudnya kesejahteraan yang lebih merata melalui dana keistimewaan. Soal tanah-tanah adat keraton yang dikelolakan sebagai tanah kas desa pun juga masih seizing keraton.
“Kalau keraton terbelah, masyarakat bingung siapa yang akan jadi acuan, karena semua urusan selama ini kan sudah dibagi tugasnya oleh kerabat,” ujar dia.
PRIBADI WICAKSONO