TEMPO.CO, Padang - Peneliti Pusat Study Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai perombakan kabinet atau reshuffle belum pantas dilakukan Presiden Joko Widodo.
Sebab, waktu kerja yang sempit tidak dapat untuk menilai kinerja seseorang. "Tidak dapat dijadikan pedoman berhasil atau tidaknya kabinet. Biarkan mereka bekerja satu tahun," ujar Feri, yang merupakan alumnus William and Mary Law School, Jumat, 8 Mei 2015.
Feri khawatir isu perombakan kabinet ini adalah propaganda. Tujuannya adalah agar pemerintah kali ini selalu bising dengan pilihan-pilihan kebijakan yang terburu-buru. Feri berpendapat rencana reshuffle ini muncul juga karena adanya intervensi dari partai politik yang akan merebut kursi menteri.
Seharusnya, kata Feri, setelah bekerja dua semester, baru dilakukan evaluasi kinerja. Jokowi dapat mengevaluasi dengan menggunakan Nawa Cita. Jika kinerja menteri masih jauh, Jokowi dapat memberikan lampu merah. "Harapan apa yang diharapkan dapat dicapai atau tidak, setidak-tidaknya mendekati harapan pada satu tahun pemerintahan," ujarnya.
Sebelumnya, isu reshuffle muncul setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan perombakan kabinet akan dilakukan dalam waktu dekat. JK mengatakan tujuannya adalah untuk memperbaiki kinerja sejumlah kementerian yang dianggap kurang berprestasi.
Kinerja empat menteri ekonomi menjadi sorotan ekonom dan politikus. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dinilai layak untuk diganti.
ANDRI EL FARUQI