TEMPO.CO, Yogyakarta - Harga kebutuhan pokok terus naik. Sebagai ibu rumah tangga dengan empat anak, bukan perkara mudah bagi Laksmi Shitaresmi mengatur pengeluaran keuangan. “Harga BBM naik, semua ikut naik,” katanya pada Tempo, Selasa malam, 2 Juni 2015.
Tak ingin kejengkelannya menjadi sekadar ocehan, ia menuangkannya menjadi ide lukisan. Jadilah, Presiden Kepiting Mohon Jangan Miring-miring, sebuah lukisan berukuran 150 x 150 sentimeter. Bergambar seorang lelaki bertelanjang dada dengan topi “kupluk” ala raja Jawa.
Baca Juga:
Anehnya, “sang raja” berkaki kepiting dan bertangan empat lengkap dengan dua supit. Sepasang tangan merentangkan busur. Adapun sepasang lagi menggendong bola dunia dengan gambar peta Indonesia dan menenteng dacin. “Lihat saja kepiting pasti jalannya miring,” katanya beralasan tentang kaki kepiting pada lukisannya.
Malam itu di Jogja Contemporary Yogyakarta, Presiden Kepiting Mohon Jangan Miring-miring adalah satu dari sejumlah karya Laksmi yang terpajang dalam pembukaan pameran berjudul Folk : Lore. Laksmi tak sendiri dalam pameran yang berlangsung hingga 18 Juni 2015 itu. Ia berpameran bersama Franziska Fennert, seorang seniman kelahiran Jerman yang kini menetap Yogyakarta.
Laksmi yang juga acap berekspresi lewat medium patung, kali ini memamerkan karya dua dimensi. Tak hanya lukisan di atas kanvas, lima seri KeNApiting yang juga terpajang di ruang pamer itu dibuatnya di atas selembar kertas.
KeNApiting menggambarkan kritiknya atas atas kondisi sosial politik yang berkembang sejak pemerintah Presiden Joko Widodo. Dari Komisi Pemberantasan Korupsi versus polisi hingga kenaikan bahan bakar minyak. “Rasanya itu gregetan kalau lihat kasus-kasus itu,” katanya.
Sementara karya Laksmi menggambarkan kritik seorang perempuan pada pemimpin bangsa, Fennert lebih banyak mengeksplorasi narasi kuno Jawa. Penulis pengantar pameran, Martha Widjajanti Soemantri, mencatat Fennert mempelajari nilai dan idealisme dalam adat istiadat Jawa. Pengetahuan itu termasuk kisah tentang Ratu Boko yang kemudian membawanya mengkaji keberadaan Durga dalam masyarakat Jawa.
Durga, dewi bertangan delapan dalam kepercayaan Hindu itu, dihadirkan Fennert dalam bentuk boneka. Judulnya Durga, terbuat dari kanvas berisi dakron. Fennert mengatakan terinspirasi dari sebuah cerita tentang seorang raja zalim yang jemawa. Mampu berganti wujud menjadi banteng, toh akhirnya ia terkalahkan juga oleh seorang perempuan. “Durga yang bisa membunuhnya,” katanya.
Sebagian masyarakat Jawa menyakini Loro Jonggrang adalah sosok Durga. Kali ini, Fennert pun membuat karya berbentuk relief yang menggambarkan sosok Loro Jonggrang di Candi Prambanan.
ANANG ZAKARIA