TEMPO.CO, Yogyakarta - Di balik podium, seorang juru lelang tak henti bercuap-cuap. Lelaki itu mempromosikan kelezatan hamburger yang tersaji di atas nampan di samping tempatnya berdiri. Satu tangannya memegang palu, tangan lainnya memperagakan sedang menyorongkan makanan ke mulut. Matanya memejam sejenak, bibirnya seolah sedang mengunyah. “Hmmm... makanan lezat ini saya buka dengan harga Rp 5 ribu,” katanya.
Puluhan orang yang berdiri di depannya langsung berebut menawar. Mereka mengangkat tangan sembari menyebut angka. Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, Rp 70 ribu, dan terus meningkat menjadi Rp 200 ribu. Suasana mendadak hening, sebelum seorang lelaki berambut keiriting di sudut kerumunan berteriak. “Rp 250 ribu,” katanya sembari memperlihatkan uang yang dimiliki.
Seorang lelaki berambut sedikit cepak seolah tak terima. Ia segera mengajukan tawaran lebih tinggi, Rp 251 ribu. “Rp 251.500,” lelaki berambut keriting itu langsung menimpali.
Lagi-lagi, suasana lelang menjadi hening. Kali ini lebih lama dibanding sebelumnya. Juru lelang mulai menghitung hingga angka 10 untuk memberi kesempatan pengunjung menawar dengan harga lebih tinggi. Tapi mereka bergeming. Dan, hamburger itu terjual pun dengan harga Rp 251.500.
Lelang fastfood, demikian nama kegiatan itu, berlangsung di Rumah Seni Cemerti Yogyakarta, Kamis malam 4 Juni 2015. Lelang makanan itu sejatinya adalah proyek seni karya Ellia Nurvistasari berjudul Fast and Foodrious.
Tak hanya melelang hamburger, Ellia juga melalang dua jenis makanan lain. Ayam goreng dan donat kentang. Kedua makanan itu juga ditawarkan dengan harga awal Rp 5 ribu. Hasilnya, ayam goreng terjual Rp 120 ribu dan donut kentang laku dengan harga Rp 180 ribu.
Fast and Foodrious merupakan bagian dari proyek seni Cemeti berjudul Liminal yang melibatkan delapan perupa berbagai media. Yosep Anggi Noen (sutradara film), Timoteus Anggawan Kusno (perupa dan peneliti), Mulyakarya (kelompok perupa komik), Habsari Bayu Jenar (sastrawan), Nindityo Adipurnomo (perupa), Gatot Danar Sulistiyanto (komposer musik), Natasha Gabriela Tontey (perupa dan perancang grafis), dan Ellia.
Koordinator Liminal Linda Mayasari mengatakan, proses kerja proyek seni ini berbeda dengan pameran pada umumnya. Seniman pesertanya tak sekadar disodori tema atau gagasan kuratorial final untuk membuat karya lantas dipamerkan. “Seniman seniman bukan sekadar produsen objek-objek artistik, tapi sekaligus produsen pengetahuan, wacana, dan perspektif baru,” katanya.
Selama berbulan-bulan sebelumnya, seniman peserta Liminal berdiskusi sama-sama untuk merumuskan karyanya. Sejak pekan kemarin, karya mereka bisa dinikmati di Rumah Seni Cemeti hingga 27 Juni 2015.
ANANG ZAKARIA