TEMPO.CO , Jakarta: Usup, 68 tahun, adalah pekerja di Taman Lapangan Banteng. Ia merawat dua kolam air mancur di taman yang di atasnya terdapat patung angsa. "Sejak 1990, saya menyikat kolam. Awalnya di Taman Monas," kata Usup saat ditemui Tempo di Taman Lapangan Banteng, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Rabu 17 Juni 2015. Sebelumnya, ia merupakan buruh lepas, yang terkadang dibayar untuk menggunting rumput di beberapa taman.
Tulen berdarah Betawi, Usup mengaku mengikuti sejarah beberapa taman di Jakarta. Menurut dia, sekitar 1960-an, ia melihat anak-anak bermain layangan dan berkejar-kejaran di payungi banyak pohon besar di taman ini. "Kalau orang dewasanya, ya, duduk bercengkerama," katanya.
Pepohonan itu kini jauh berkurang. Anak-anak yang bermain pun amat jarang. Yang datang, menurut Usup, adalah pekerja kantor atau pengunjung pameran. "Sering diadakan pameran flora dan fauna di sini," katanya.
Saat Tempo berkunjung, kondisinya jelas berbeda dengan yang diceritakan Usup-tentang kondisi taman zaman dulu. Beberapa titik tampak tumbuh rumput liar yang gersang kecokelatan. Terdapat juga sampah di dekat deretan tenda-tenda bekas acara festival kuliner di bawah Monumen Pembebasan Irian Barat.
Tapi taman ini memiliki banyak spot bagus, seperti taman bunga yang dikelilingi jalan setapak yang sering dijadikan trek lari oleh pengunjung. "Sejak dua tahun belakangan pemerintah Jakarta gencar merawat taman," kata Usup.
Dulu, Lapangan Banteng berupa rawa dan hutan. Penduduk asli dan orang Belanda kerap berburu binatang liar di sini. "Mitosnya, sering terdengar singa mengaum saat diburu," Usup menambahkan.
Mitos yang dikatakan Usup bisa jadi diragukan. Sebab, menurut sejarawan Alwi Shahab, kala itu singa belum terlalu dikenal warga Jakarta. Yang pasti, kata Alwi, pada abad ke-18 taman ini menjadi pusat kavaleri pasukan Belanda yang disebut Waterlooplein. Plein artinya lapangan, Waterloo adalah nama kota di Belgia, tempat kekalahan Napoleon melawan pasukan Belanda pada 18 Juni 1815.
Sebagai ejekan untuk Napoleon, kemudian dibangunlah Tugu Singa, lambang Kerajaan Belanda. "Makanya taman ini dikenal juga sebagai lapangan singa," kata Alwi, Kamis lalu.
Dalam perkembangannya, Tugu Singa dihancurkan militer Jepang pada 1943. Nama lapangan singa kemudian diganti menjadi Lapangan Banteng oleh Presiden Soekarno sebagai simbol gerakan nasionalisme Indonesia. Pada 1962, di sini dibangun Patung Pembebasan Irian Barat.
Seiring dengan perjalanan waktu, taman ini pernah berubah fungsi menjadi terminal bus. Namun, karena terminal dinilai tidak cocok ditempatkan di tengah kota, maka pada 1993, fungsi taman ini diubah kembali menjadi ruang terbuka hijau.
HERU TRIYONO