TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi masih menemukan potensi gratifikasi pencatatan nikah. Praktek penerimaan uang saku, tanda terima kasih, pengganti transportasi, atau istilah lainnya yang terkait pencatatan nikah yang tidak resmi merupakan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua sementara KPK Taufiequrachman Ruki mengemukakan adanya temuan tersebut sewaktu berbicara dalam pertemuan yang dihadiri Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, Rabu, 25 Juni 2015. Menurut dia, rapat koordinasi tersebut dilaksanakan atas adanya temuan yang berpotensi terjadinya gratifikasi pada sistem yang sudah berjalan. "Maka diminta atau tidak diminta, baik ada kasus atau tidak ada kasus, kami akan turun," kata Taufiequrachman Ruki melalui keterangan pers yang dikirimkan KPK kepada Tempo, Rabu malam, 25 Juni 2015.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan rapat koordinasi dengan tiga kementerian terkait untuk mengevaluasi implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2014 terkait biaya pencatatan nikah. Acara tersebut dihadiri oleh tiga komisioner KPK, yakni Taufiequrachman Ruki, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain, serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, Inspektur Jenderal Kementerian Agama M. Jasin, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Machasin, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Marwoto Harjowiryono, dan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman.
Lukman Hakim Saifudin mengatakan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tarif biaya pencatatan nikah telah diimplementasikan sejak Juli 2014. Peningkatan pelayanan masyarakat untuk pencatatan nikah di Balai Nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dipungut biaya. Sedangkan pencatatan nikah di luar Balai Nikah/KUA, hari libur dan di luar jam kerja, dibebankan kepada masyarakat melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Bagi masyarakat yang tidak mampu dan terkena bencana, meski dilakukan di luar Kantor KUA, tetap digratiskan. ''Ini terobosan yang penting di tengah kerinduan masyarakat terhadap layanan prima dari pemerintah secara mudah dan gratis,'' kata Lukman.
Lukman mengatakan berbagai upaya perbaikan telah dilakukan dengan paradigma baru, antara lain penyetoran biaya pelayanan nikah oleh masyarakat dilakukan secara langsung melalui transfer bank, kecuali daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh bank; sistem pengelolaan PNBP dilakukan secara terpusat untuk mengontrol pengelolaan keuangan secara nasional dalam penggunaan PNBP; serta pembayaran honorarium dan biaya transportasi pelayanan nikah kepada penghulu dilakukan secara langsung ke rekening petugas terkait.
Dengan cara itu, diharapkan bisa memutus mata rantai yang memberi ruang terjadinya praktek pungli atau gratifikasi. Selain itu, Lukman juga mengatakan pihaknya juga telah melakukan sosialisasi regulasi kepada aparatur di lingkungan Kemenag dan masyarakat serta menerapkan Zona Integritas di lingkungan Kementerian Agama.
Dalam pelaksanaannya, Lukman mengakui menemukan sejumlah kendala dalam implementasi PP tersebut, baik internal maupun eksternal. Secara internal, terdapat keterlambatan proses pencairan PNBP yang diakibatkan oleh terlambatnya data persitiwa nikah pada 5.497 KUA di seluruh Indonesia. "Ini membuka peluang terjadinya gratifikasi," katanya.
Kendala eksternal, masih ditemukan praktek pemberian gratifikasi oleh masyarakat kepada petugas pencatat nikah/penghulu KUA dalam proses pengurusan administrasi dan pencatatan nikah. Praktek tersebut pada umumnya bukan permintaan pihak petugas, tapi dikarenakan kebiasaan masyarakat. Praktek pemberian juga terjadi ketika mengurus administrasi kependudukan di RT/RW/kelurahan sebagai prasyarat sebelum ke KUA. Bahkan, ada beberapa di antaranya yang menetapkan biaya administrasi.
Selain itu, sebagian besar sarana kantor KUA kondisinya masih belum memadai. Misalnya masih menempati tanah wakaf, lahan pemda, dan menyewa dari pihak ketiga serta tidak didukung prasarana serta anggaran operasional yang memadai. Hanya sebagian kecil kantor KUA yang status tanahnya milik Kemenag.
Dalam kesempatan itu, Lukman berjanji akan segera membenahi. Misalnya, Kementerian Agama akan menyatukan penyimpanan dana PNBP dalam satu rekening bank, mengembangkan teknologi sistem informasi berupa aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah untuk mengelola data nikah-rujuk secara online di seluruh Indonesia; serta bekerja sama dengan Kemendagri, khususnya dalam meminimalisasi pungli di luar KUA.
Karena itu, KPK memandang penting sinergi ini antara para pihak terkait guna mengatasi persoalan yang ada. "Solusi segera dibutuhkan, tidak hanya agar pada pengawasan dan pelaksanaannya lebih optimal, tetapi juga terhindar dari praktek gratifikasi," kata Ruki.
SUPRIYANTHO KHAFID