TEMPO.CO, Yogyakarta - Bagi sebagian besar orang, pulpen adalah alat menulis. Tapi di dalam penjara, benda itu bisa menjadi alat untuk merajah tubuh. “Karena benda tajam kan sulit masuk ke penjara,” kata Panca DZ, Selasa 28 Juli 2015.
Malam hari itu, di Jogja Contemporary Yogyakarta, perupa asal Bandung ini menggelar pameran berjudul “Maker’s Mark”. Lewat karya dalam beragam media -gambar dan patung-, ia menyuguhkan narasi tentang tatto dari masa ke masa. Pameran itu dijadwalkan berlangsung hingga 8 Agustus 2015.
Baca Juga:
Salah satu karyanya adalah berjudul Tatto Gun Innuendo #2. Karya itu terdiri dari delapan panel yang berisi sejumlah alat. Dari pulpen, sikat gigi, sebotol kecil lem, dinamo, serta seutas kabel lengkap dengan colokan listrik, Masing-masing ditempatkan di permukaan panel yang menempel di salah satu sisi ruang pamer.
Di permukaan panel lain, terdapat satu unit mesin tatto modifikasi yang dihasilkan dari alat-alat itu. Menurut dia, para tahanan di penjara Banceuy Bandung menggunakan alat ini untuk mentatto tubuh. “Januari lalu saya mendatangi penjara itu,” katanya.
Kurator Pameran Rifandy Priatna mengatakan Panca adalah salah seorang pegiat di lembaga non pemerintahan di Bandung. Lewat program yang digelar di penjara itu, dia melakukan pengamatan tatto para tahanan. Selain alat pentatto tubuh modifikasi itu, Panca juga memamerkan sketsa berupa gambar tatto para tahanan.
Pengamatan itu lantas membawa Panca menelisik lebih jauh sejarah tatto. Secara sederhana, Panca membagi dalam dalam tatto tradisional dan urban. Pada masyarakat tradisional, tatto adalah identitas diri. Lewat gambar yang terajah pada tubuh, seseorang memperlihatkan suku asalnya. Di Indonesia, kata dia, salah satu suku yang menggunakan tatto sebagai identitas diri ini adalah dayak.
Sementara itu, lewat lima karya; “Zanun Syimbols”, Anis’s Life Cubes”, “Rahung’s Naga”, Nindya’s Name”, dan “Sandy’s Flower”, ia memperlihatkan tatto pada masyarakat urban. Masing-masing karya itu berupa gambar berukuran 90 x 60 sentimeter yang memperlihatkan seseorang dengan tubuh penuh tatto. “Masyarakat urban menjadikan tatto sebagai media seni,” katanya.
Toh, di antaranya kedua periode tatto itu, sambung dia, ada masa ketika masyarakat melihat orang bertatto sebagai pelaku kriminal. “Pada zaman Petrus (penembakan misterius),” katanya. Petrus merupakan penumpasan terhadap pelaku kriminal oleh aparat rezim Orde Baru pada decade 1980-an. Ironisnya, penumpasan itu justru setelah mereka berperan dalam pemilihan umum mendukung partai penguasa.
ANANG ZAKARIA