TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyarankan tiga lembaga pengawas perbankan untuk membuat sistem informasi terintegrasi. Saran ini disampaikan dalam sidang pembacaan putusan gugatan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Untuk menghindari tumpang tindih perlu dibangun sarana pertukaran informasi terintegrasi untuk BI, OJK, dan LPS, jadi memungkinkan untuk saling berbagi informasi," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang utama MK di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Selasa, 4 Agustus 2015.
Arief menyampaikan Pasal 5 UU OJK menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berdampak pada penumpukan kewenangan. Namun Mahkamah berpendapat yang terjadi bukan penumpukan kewenangan.
"Sudah ada legitimasi penyerahan wewenang antara BI dan OJK, seperti di UU OJK Pasal 7," kata Arief. Di sana tertera pengaturan mikroprudensial merupakan kewenangan OJK, sementara makroprudensial merupakan tugas dan wewenang BI. Namun pengawasan terintegrasi harus dilakukan dengan cara unified supervisory model.
Menurut Arief, pembuat UU juga harus memberikan batasan jelas mana wewenang BI dan mana yang wewenang OJK. Batasan ini harus dimuat dalam RUU Bank Indonesia, supaya tak bersinggungan dengan UU OJK.
Perwakilan OJK yang hadir di sidang pembacaan putusan, anggota Dewan Komisioner OJK Nelson Tampubolon, menyambut baik masukan majelis ini. Ia mengatakan akan membicarakan pengembangan sistem ini dengan lembaga terkait. "Akan kami bicarakan juga dengan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan," katanya.
URSULA FLORENE SONIA