TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah seniman street art mengeluhkan sikap Pemerintah Kota Yogyakarta yang masih terus menganggap praktek seni mural (lukisan dinding) sebagai bentuk vandalisme. Seniman street art, Digie Sigit, menuding Pemerintah Kota Yogyakarta membatasi kreativitas pelaku seni mural yang sebenarnya bermanfaat menyuarakan aspirasi publik.
"Pada tahun 2000-an, Pemkot Yogyakarta mendukung mural sampai seni jenis ini populer di masyarakat. Namun, setelah itu, pelaku mural malah direpresi," kata Digie Sigit saat berbicara dalam Workshop Street Art "Belajar Seni Bersama" yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta di Lembaga Indonesia Prancis (LIP), Sabtu, 29 Agustus 2015.
Tekanan terhadap pelaku seni mural di Kota Yogyakarta, menurut Sigit, makin menjadi-jadi setahun belakangan. Beberapa tahun sebelumnya, seniman mural hanya berhadapan dengan ancaman penangkapan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). "Tapi sekarang ada juga kelompok sipil yang khusus dibentuk untuk menekan kami," ujarnya.
Meski demikian, dia yakin represi negara tak akan berhasil mematikan ekspresi seni pelaku street art. “Tekanan pada seniman justru akan menjadi bahan bakar yang menguatkan isi pesan protes kepada pemerintah pada banyak produk seni mural,” tuturnya.
Toh, dia mengakui bahwa pelarangan serampangan terhadap mural membuat gerak pelaku street art terbatas. Akibatnya, kesempatan seniman bertambah kecil untuk membuat karya yang bisa mendorong masyarakat memanfaatkan ruang publik sebagai sarana menyuarakan aspirasi yang tepat.
Di tempat yang sama, pembuat karya Anti-Tank Project, Andrew Lumban Gaol, mengaku harus mencuri waktu pada malam hari saat membuat karya poster mural untuk menghindari penangkapan Satpol PP. Saat ini kesempatan bagi seniman agar leluasa membuat mural di Yogyakarta sangat sempit dan media dinding untuk lokasi karya juga makin terbatas. "Makanya sekarang hampir tak ada karya mural monumental dan bisa bertahan lama di Yogyakarta," ucapnya.
Andrew mengingatkan sejarah kemunculan mural di Indonesia membuktikan produk seni ini menjadi alat efektif mendorong edukasi secara massal ke publik. Dia mencatat maestro pelukis, seperti Affandi dan Sudjojono, memakai medium dinding di perkotaan dan gerbong-gerbong kereta untuk mengkampanyekan slogan kemerdekaan saat revolusi 1945. "Vandalisme menjadi ekspresi seni ketika muncul dengan konteks dan isi yang tepat," katanya.
Kini, pemanfaatan ruang publik untuk ekspresi seni yang menyuarakan aspirasi warga Kota Yogyakarta masih terus bermunculan, meskipun aktivitas ini berisiko mengundang intimidasi kelompok sipil maupun tindakan represif dari Satpol PP. Tema mural hasil kerja banyak pelaku street art bertebaran dengan tema lingkungan, sosial, hingga penolakan pada pelanggaran HAM.
Bayu Widodo, pendiri bengkel seni Survive Garage, mencontohkan, kerja bareng seniman street art dalam menyuarakan aspirasi publik direalisasikan dalam tuntutan penuntasan kasus pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafrudin di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta. Seniman street art menggambar mural di dua dinding Jembatan Kewek.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM