TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kehutanan dan Konversi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan saat ini Indonesia sudah di ambang krisis air. Berdasarkan riset, air permukaan Pulau Jawa terus menyusut, saat ini hanya sebesar 4,2 persen. Padahal, kata dia, 57,6 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa dan jumlah penduduk itu akan terus bertambah.
Menurut Basah, saat ini umur air tanah di Bandung hanya tinggal ratusan tahun, setelah itu Bandung tidak akan punya air tanah lagi. "Kondisi Jakarta lebih parah," katanya dalam acara diskusi bertema "Memajukan Hak Rakyat atas Air untuk Pembangunan Berkelanjutan" di Plaza Festival, Jakarta, Ahad, 22 November 2015.
Kondisi air yang bagus seharusnya sebanyak 65 persen berupa green water, dan 35 persen blue water. Green water merupakan air yang bisa meresap ke tanah, sedangkan blue water adalah air yang mengalir.
Namun kondisi di Indonesia saat ini terbalik. Persentase blue water lebih besar daripada green water. Hal itu terjadi karena minimnya daya tampung tanah untuk menyerap air. “Semakin hari posisi semakin terbalik. Hujan turun langsung mengalir, tidak meresap,” ujar Basah. Akibatnya, saat musim kemarau Indonesia mengalami kekeringan sedangkan pada musim penghujan dilanda banjir.
Selain minimnya kuantitas, kualitas air pun kian memprihatinkan. Basah mengatakan saat ini air tanah di Jakarta sebagian besar sudah tidak layak digunakan. Akhirnya masyarakat terpaksa menggunakan air olahan yang sebagian didaur ulang dari air bercampur limbah. Basah melanjutkan, karena mengolah limbah, maka kandungan kimia yang digunakan harus tinggi, sehingga produksi mahal. “Akhirnya yang diuntungkan hanya rakyat kaya. Lalu bagaimana rakyat miskin?”
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Nasional Naik Sinukaban. Menurutnya, saat ini Indonesia sudah di ambang krisis air bersih. Namun kondisi itu tidak banyak disadari warga. “Sekarang lihat saja sungai di Jakarta,” katanya.
Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia Subekti mengatakan pelayanan air minum Indonesia terburuk se-ASEAN. Kalah jauh dibandingkan semua negara di Asia Tenggara. “Masyarakat kita mengkonsumsi air sangat tidak layak,” ujarnya.
Ia mengatakan dari tingkat pelayanan, akses air minum yang aman di Indonesia baru mencapai 68,8 persen di 2015 yang terdiri dari air minum perpipaan sebesar 25 persen dan nonperpipaan sebesar 43,8 persen. Nilai ini berada di bawah negara tetangga yang sudah mencapai 100 persen. “31,2 persen masyarakat mengkonsumsi air belum aman,” katanya.
Menurut Subekti, kendala utama yang dihadapi saat ini adalah persediaan air baku. Ia juga menilai komitmen dari kepala daerah untuk menyediakan air bersih masih kurang. Tak hanya itu, masalah listrik, utang, sumber daya manusia, kebocoran air, hingga pendanaan juga menjadi tantangan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
Selain itu, kata dia, tak adanya regulasi yang mengatur tentang air minum dan sanitasi juga menghambat pelayanan. Menurutnya, Indonesia membutuhkan badan regulator nasional khusus menangani air minum dan sanitasi.
Oxfam memprediksi pada 2025 sebanyak 321 juta jiwa penduduk Indonesia akan sulit mendapatkan air bersih. Naik sebesar 1,33 kali lipat dibandingkan penduduk yang kekurangan hari ini.
Sementara itu Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Mustakim mengatakan sudah saatnya pemerintah membuat regulasi pengelolaan air yang lebih baik untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan air warga secara menyeluruh dan berkelanjutan. Karena, "Terpenuhinya akses terhadap air adalah hak asasi warga negara," katanya.
MAYA AYU PUSPITASARI