TEMPO.CO, Paris -Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono berharap akan ada kesepakatan di Konferensi Perubahan Iklim ke-21 Paris (COP21). Khususnya dalam menahan laju kenaikan suhu bumi. "Syukur-syukur bisa sepakat untuk lebih rendah dari 2 derajat Celsius," kata pria yang karib disapa SBY ini kepada awak media setelah memberikan ceramah di Paviliun Indonesia, Le Bourget Exibhition Center, Selasa, 8 Desember 2015.
Kalaupun tidak bisa lebih rendah, SBY berharap angka 2 derajat Celsius dapat disepakati. Yang terpenting, kata dia, COP21 Paris jangan gagal. "Harus ada kesepakatan,"ujar SBY, yang juga menjadi Presiden of Assembly and Chair of Council Global Green Growth Institute (GGGI). GGGI adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan semangat pertumbuhan hijau dengan cara menyeimbangi pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan secara berkelanjutkan, khususnya di negara-negara berkembang. Markas utamanya ada di Seoul, Korea Selatan.
Menurut SBY, transformasi pembangunan memang memakan waktu jangka panjang. "Tapi mau tidak mau semua sektor harus turun tangan," kata SBY. Semua sektor yang dimaksud SBY adalah pemerintah, swasta, akademisi, dan rakyat. SBY berpendapat, target penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030 yang diajukan Indonesia akan tercapai jika semua sektor terlibat.
Selain target, SBY juga berbicara soal negosiasi. Menurut dia, negosiasi pasti akan berjalan alot. Terlebih, ujarnya, jika berbicara mekanisme pendanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dari negara maju untuk negara berkembang. "Tapi tak apa. Semuanya tetap harus diperjuangkan," tutur SBY.
Aneka kepentingan mengemuka dalam perundingan di COP21 Paris. Baik antara negara maju dengan negara berkembang, maupun di internal kelompok masing-masing.
Amerika Serikat dan sekutunya mengabaikan nilai-nilai dasar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang common but differentiated responsibility (CBDR). Mereka abai terhadap nilai keadilan iklim, dengan mewajibkan negara-negara berkembang menurunkan emisi nasionalnya, walaupun rata-rata emisi per kapitanya lebih rendah daripada emisi per kapita di negara-negara maju.
Negara berkembang secara keseluruhan juga menolak konsep self-differentiation karena akan memberi ruang aksi minimalis negara maju. Mereka bakal ogah-ogahan menurunkan secara maksimal emisi gas rumah kaca di negaranya. Namun ada beberapa negara berkembang yang setuju dengan pandangan negara maju, yaitu Kolombia dan Meksiko.
AMRI MAHBUB (PARIS)