TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut terjadi kesenjangan ekonomi yang tinggi di daerah ini. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak menguntungkan kelas menengah ke atas yang berjumlah 20 persen atau 720 ribu dari total penduduk Yogyakarta tahun 2014 sebanyak 3,6 juta orang. Sisanya merupakan penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian.
Kepala BPS DIY, Bambang Kristianto mengatakan rasio gini atau indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan di Yogyakarta tahun 2014 tercatat tidak banyak bergeser dari tahun 2013. Rasio gini pada 2013 mencapai 0,44 dan 0,42 pada 2014. Ini bermakna kesenjangan ekonomi di daerah ini cukup tinggi karena ketersediaan lapangan kerja pertanian dan industri pengolahan stagnan. BPS mencatat pengeluaran kelas menengah ke atas rata-rata 2,5 juta per kapita per bulan pada 2013. Angka itu tidak jauh berbeda dengan tahun 2014.
Data BPS menunjukkan total penduduk daerah ini tahun 2015 sebanyak 3.688.000 orang. Bambang mengatakan angka kesenjangan ekonomi di tahun 2015 tak banyak berubah dari tahun 2014. Menurut dia, kalangan menengah ke atas terkonsentrasi di Kabupaten Sleman dan Yogyakarta.
Investor tertarik membangun investasi pada sektor bisnis, seperti hotel dan mal. “Pemilik modal besar paling menikmati pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi tergolong tinggi,” kata Bambang kepada Tempo di Yogyakarta, Jumat, 11 Desember 2015.
Sedangkan, sektor pertanian dan industri pengolahan untuk menyerap banyak tenaga kerja tidak dikelola dengan serius. Industri pengolahan itu misalnya industri kreatif. Sedangkan, kemiskinan paling banyak menimpa penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Mereka rata-rata hanya memiliki lahan pertanian seluas 0,26 hektare. Selain itu, pariwisata yang menjadi sektor andalan Yogyakarta juga belum mampu memberi dampak bagi kalangan kelas menengah ke bawah.
Bambang menyatakan, ketimpangan ekonomi itu bisa dilihat bagaimana orang mendapatkan akses kesehatan, akses pendidikan, dan akses air bersih. Persentase penduduk miskin pada Maret 2015 di perkotaan mencapai 13,05 persen dan desa 17,23 persen.
Data BPS pada Maret 2015 menggambarkan pengeluaran penduduk miskin di perkotaan sebesar Rp 345.417 rupiah dan desa Rp 312.132 per kapita per bulan. Penyumbang kemiskinan adalah komoditas makanan, yakni beras dan daging ayam ras. Kemiskinan terjadi sejalan dengan inflasi. Misalnya pada Maret 2014 ke Maret 2015 sebesar 5,13 persen dan inflasi pada September 2014-Maret 2015 sebesar 3,06 persen.
SHINTA MAHARANI