TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan hanya segelintir media online di Indonesia yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers dan dinyatakan sebagai media yang profesional.
"Data media online terakhir ada 2.000, hanya 211 yang media profesional," kata Stanley saat ditemui di gedung Dewan Pers, pada Rabu, 20 Januari 2016.
Baca Juga:
Ia menjelaskan, ini terjadi akibat banyaknya media yang ia sebut sebagai media abal-abal bertransformasi menjadi media online. Media abal-abal yang ia maksud adalah media yang terbitnya tidak rutin dan tak memiliki penanggung jawab yang jelas.
Media semacam ini, menurut dia, kerap kali dipakai untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti pemerasan. Stanley berujar, laporan-laporan semacam itu sering diterima Dewan Pers. Namun, jika urusannya menyangkut media abal-abal, ia meminta agar dipidanakan saja.
Ketika ditanyakan cara mengatasinya, Stanley mengatakan hal itu sulit dibendung. Selain itu, Stanley melihat ada fenomena lain di luar media abal-abal, yaitu lemahnya kapasitas para wartawan.
Menurut dia, hal itu karena beberapa hal, seperti tak pernah mengikuti pelatihan jurnalistik dan selalu memilih jalan pintas. Jalan pintas yang dimaksud adalah wartawan yang bersangkutan tidak pernah ke lapangan, mengkloning berita, dan menggunakan media sosial sebagai acuan.
Stanley juga mengklasifikasikan pers menjadi tiga kelompok, yaitu pers profesional, partisipan, dan abal-abal. Menurut Stanley, perkembangan jenis pers ini berbeda-beda pada setiap era. "Misalnya, pada era Presiden Habibie, media partisan itu kecil jumlahnya. Sedangkan pasca-Pemilu-2014 sebaliknya."
DIKO OKTARA