TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan belum perlu merevisi UU Otonomi Khusus Papua. Alasannya, revisi ini dikhawatirkan memperparah keadaan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Menurut Luhut, UU No. 21 Tahun 2001 itu belum diimplementasikan secara maksimal. Sehingga ada kesan undang-undang ini tidak memberi pengaruh kepada rakyat papua, misalnya meningkatkan kesejahteraan. "Belum pernah dijalankan dengan benar, kalau revisi muatannya lebih parah lagi," kata Luhut di kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Selasa, 9 Februari 2016.
Luhut mengungkapkan, sejak 2002 hingga 2015 dana otonomi khusus yang dialokasikan ke Papua dan Papua Barat berkisar Rp 42 triliun. Akibat ketidakjelasan penggunaannya, pembangunan masih belum terasa manfaatnya di dua provinsi tersebut.
Penggunaan dana otonomi khusus seharusnya diatur dalam Peraturan Daerah Khusus, bukan dengan peraturan gubernur. Ke depan, kata Luhut, dana otonomi khusus tak lagi dicampurkan dengan APBD. "Supaya dana ini bisa lebih maksimal, saya minta difokuskan pada pendidikan dan pembangunan sekolah," ujarnya.
Wakil Gubernur Papua Barat Irene Manibuy mengatakan bahwa memang implementasi terhadap UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua belum berjalan maksimal. Karena itu ia ingin adanya revisi terhadap undang undang tersebut agar ada peningkatan kehidupan di Papua.
Ketua Komite I DPD RI Akhmad Muqowam mengajak kepada pemerintah dan legislatif untuk bersama-sama mengevaluasi jalannya otonomi khusus ini. Menurut Akhmad, ini penting untuk memperjelas rarah pembangunan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua, dan Papua Barat.
DPD, kata Akhmad, mengadakan rapat kerja membahas pelaksanaan otonomi khusus di Papua, bersama dengan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso, dan Wakil Gubernur Papua Irene Manibuy.
DIKO OKTARA