TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa pembakaran Patung Arjuna Memanah di lokasi obyek wisata Situ Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis dinihari, 11 Februari 2016, menambah panjang daftar upaya pemusnahan Patung-patung Wayang Golek, yang berada hampir di setiap sudut ruang publik di Purwakarta. Lalu Patung Gatotkaca di Perempatan Combro dan Patung Semar di Jalan pertigaan Bunder.
Saat itu, sejumlah ormas Islam, yang melakukan aksi perusakan, mengusung dalil keberadaan patung-patung wayang yang dibangun di masa awal kepemimpinan Bupati Dedi Mulyadi sebagai perbuatan syirik. Patung Wayang Golek dinyatakan sebagai produk budaya luar Purwakarta.
"Mendirikan Patung-patung Wayang Golek itu termasuk syirik," kata mendiang Ketua Front Pembela Islam Purwakarta, K.H. Abdullah Djoban, waktu itu. Makanya dia dan massa ormas yang dipimpinnya menegaskan tak ada ruang publik di Purwakarta yang dihalalkan buat pembangunan patung. "Pokoknya haram."
Meski terus dihujat dan diberondong aksi, proyek pembangunan patung berlatar budaya tersebut, terus dilanjutkan Dedi dengan cara mengganti semua patung yang sudah dirusak dan dirobohkan tersebut. Tapi, kali ini, nilai seni dalam patung wayang itu lebih indah dan temanya agak diplesetkan.
Misalnya, Patung Bima yang gagah perkasa dibikin dengan kondisi sedang tersenyum, begitu pun dengan Patung Semar dan Gatotkaca, dibuat seindah dan seakrab mungkin dengan penikmat seninya. Alhasil, keberadaan patung-patung tersebut semakin diminati warga Purwakarta, bahkan pelancong dari luar Purwakarta.
Dedi mengaku pembuatan patung-patung wayang golek tersebut tak ada kaitannya dengan pendangkalan akidah, seperti ditudingkan pihak yang kontra dengannya. "Ini semata-mata sebagai wujud apresiasi terhadap kebudayaan Sunda. Orang Sunda itu kan senang sama wayang golek," kata Dedi memberikan alasan.
Agar tidak menimbulkan kesan wayang melulu, Dedi kemudian membangun patung bertema sejarah dan kebudayaan rakyat. Ia kemudian membangun Patung Proklamator Soekarno-Hatta dan Patung Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di perempatan Jalan Baru.
Lalu Patung Jenderal Sudirman di pertigaan Jalan Sudirman, Patung Egrang di pertigaan Jalan Taman Pahlawan, Patung Kereta Kencana di depan Bank BNI , Patung Kian Santang di Jalan Kolonel Kornel Singawinata, danPatung Sri Baduga alias Prabu Siliwangi, Raja Padjadjaran di kawasan wisata Situ Buleud, serta patung Si Cepot dan Badak juga di kawasan yang sama.
Kehadiran 12 patung di setiap sudut ruang publik kota Purwakarta tersebut kini ternyata membetot perhatian warga dan para pelancong yang datang dari luar Purwakarta. "Kota Purwakarta dengan hiasan patung-patungnya tampak lebih hidup dan indah," kata Nina, warga Kelurahan Nagri Kaler.
Apalagi kehadiran patung-patung tersebut dibarengi dengan pembuatan taman, yang membuat kota semakin semarak. "Enggak bosen dilihat mata," ucap Nina.
Adji, seorang pelancong asal Bandung, juga turut memuji penataan kota Purwakarta yang setiap sudutnya dihiasi patung-patung itu.
"Artistik, jenaka, sekaligus mengingatkan kami dan anak-anak akan sejarah budaya Sunda," ujarnya. Ia mengaku kesulitan menemukan patung wayang golek di daerah lain di Jawa Barat. Padahal wayang golek identik dengan seni-budaya Sunda.
NANANG SUTISNA