TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup seperti East Timor and Indonesia Action Network (etan.org), ICANET, dan California against Reclamation in Benoa Bay melakukan aksi diam di depan Palace of Fine Art, San Francisco, California, pada Selasa, 16 Februari 2016, waktu setempat. Aksi dimulai pukul 05.30 hingga 07.30 petang dan dilakukan saat Presiden bertemu dengan komunitas diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Para aktivis mendesak Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan isu HAM dan keadilan sebagai prioritas dalam pemerintahannya. Mereka meminta Presiden melakukan upaya serius untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM masa lalu dan kini. "Presiden Jokowi menjanjikan pemerintahan yang berbeda dengan masa lalu. Tetapi kami melihat begitu banyak gaung pelanggaran hukum masa lalu,” kata Koordinator Nasional ETAN John M. Miller dalam rilisnya yang diterbitkan pada Rabu, 17 Februari 2016.
Perwakilan ICANET di San Fransisco, Peter Phwan, mengatakan rekam jejak pemerintahan Jokowi masih mengecewakan. Padahal, Jokowi pernah berjanji untuk berkomitmen terhadap HAM melalui Nawacita. “Jokowi harus memenuhi janji-janji kampanyenya dalam Nawacita,” kata Peter. Muhamad Amin, salah satu aktivis, mengatakan Presiden Jokowi perlu diingatkan kembali tentang isu HAM agar terjadi check and balance.
Peter mengatakan Indonesia kini masih menggunakan pola pemerintahan masa lalu. Buktinya, masih ada penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama seperti kasus GKI Yasmin, HKBP Philadelphia, Syiah dan Ahmadiyah. Belakangan, beberapa Menteri di Kabinet Jokowi pun mengungkapkan ujaran kebencian terhadap kaum LGBT. Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan melarang emoji (stiker) gay dan lesbian di aplikasi seperti WhatsApp, Facebook dan Twitter. “Jokowi harus memberi pernyataan soal perlindungan HAM terhadap minoritas ini,” kata Peter.
Para aktivis mengingatkan Presiden Jokowi tentang hak warga Papua Barat yang dinilai belum dipenuhi. Mereka juga berharap tak ada lagi larangan berdiskusi layaknya pemerintahan otoriter. “Pejabat di bidang Politik dan Keamanan baru-baru ini melakukan upaya sensor dengan melarang diskusi masyarakat tentang pembunuhan brutal yang terjadi di tahun 1965 yang memungkinkan berkuasanya Soeharto, diktator yang didukung AS,” kata Miller.
Baca Juga:
Menurut Miller, korban dan penyintas kejahatan pembunuhan masal 1965 sampai invasi ilegal ke Timor Timur (Timor-Leste) serta pelanggaran HAM di Aceh masih menanti keadilan hingga saat ini. Lemahnya pertanggungjawaban terhadap masa lalu akan berpengaruh kepada pelanggaran hukum di masa kini.
Isu lain yang diusung para aktivis adalah pembalakan dan pembakaran hutan Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit dan hasil pertanian lainnya. Tingkat penggundulan hutan Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di dunia. Sebabnya adalah penebangan hutan secara liar dan seringkali dipermudah dengan lemahnya penegakan hukum serta militer dan polisi yang korup. Selain itu, mereka juga menyoroti reklamasi Teluk Benoa di Bali. Mereka menilai reklamasi ditujukan untuk pembangunan pusat pariwisata dan berpotensi mengancam kelestarian alam dan pantai di Bali.
VINDRY FLORENTIN