TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mencanangkan program listrik 35 ribu megawatt guna memenuhi kebutuhan listrik, terutama di luar Jawa. Namun sebagian besar perusahaan listrik swasta (independent power producer) justru ingin membangun di Jawa. Sikap ini dikritik Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir.
"Kalau di Jawa, listrik sudah cukup, jaringannya sudah ada. Jadi dia maunya apa, ngambil rente yang lebih besar aja, kan?" kata Sofyan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis, 25 Februari 2016.
Sofyan menjelaskan, pembangkit listrik di Jawa sudah tidak terlalu dibutuhkan. Daya listriknya sudah mencapai 140 persen. Kebutuhan listrik paling mendesak, ucap dia, justru di luar Jawa, seperti Papua dan Sulawesi. Jadi, jika ada perusahaan listrik swasta ingin berkontribusi di proyek listrik 35 ribu MW, seharusnya mereka membangun di daerah-daerah defisit listrik dan daerah-daerah terisolasi.
Kenyataannya, sebagian besar perusahaan listrik swasta justru ingin di Jawa. "Sebesar 70 persen maunya bangun di Jawa. PLN maunya dibangun di luar Jawa, yang masih enggak ada listrik," ujarnya.
Dia menduga keinginan membangun pembangkit di Jawa hanya semata-mata mengejar keuntungan, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebab, di Jawa, harga listrik swasta bakal dibayar PLN seharga US$ 12 sen per KWh. Alasan lain, infrastruktur di Jawa sudah relatif lebih baik dibanding di wilayah lain.
Dia mencontohkan, ada perusahaan swasta yang ingin membangun pembangkit listrik tenaga minihidro di Sukabumi, Jawa Barat. Padahal, di dekat pembangkit itu, sudah ada pembangkit listrik dengan harga US$ 7 sen per KWh. "Ada PLTMH 12 sen mau dibangun. Maksudnya apa sih bangun di situ? Buat tambahan biaya masyarakat atau apa?" tutur Sofyan.
Sofyan mengingatkan, jika pembangkit listrik di Jawa dibangun besar-besaran hingga 70 ribu MW, tak mungkin PLN bisa mensubsidi. "Sekarang kami mau menyelesaikan masalah masyarakat atau pengusaha yang agak greedy?" katanya.
AMIRULLAH