TEMPO.CO, Purwakarta - Pasangan Agus dan Irma yang bekerja sebagai pemulung sama sekali tidak berniat buruk untuk menolak bantuan kepada keluarga mereka. Mereka memang hidup miskin dan tinggal di gubuk bersama anak-anaknya. Namun pantang bagi mereka untuk menerima uluran tangan tetangga maupun orang lain. Bahkan bantuan dari Bupati Dedi Mulyadi dengan tegas mereka tolak.
Beberapa waktu lalu, pasangan Agus dan Irma baru kehilangan anak bungsu mereka yang berusia empat bulan. Menurut dokter, putera pasangan itu menderita gizi buruk. Tetapi, Irma tidak sependapat dengan dokter. "Anak saya sakit dan meninggal dunia, karena Yang Maha Kuasa," Irma menegaskan.
Menurut Irma, saat anak bungsunya masih hidup dia memang kerap mendapat bantuan berupa beras, bahan makanan, dan susu. Namun semua bantuan itu tidak pernah diberikan kepada anaknya."Saya bagikan kepada para tetangga," ujar Irma.
Ia mengaku bahagia bersama keluarganya meski hidup di sebuah rumah yang lebih layak disebut gubuk itu.
Kepala Desa Sukatani, Asep, mengatakan, pasangan Agus dan Irma tersebut memang keras kepala. Bahkan desa sudah membatalkan rencana memperbaiki rumah pasangan itu. Sebab Agus dan Irma dengan tegas menolaknya.
Asep bahkan pernah bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk meluluhkan pasangan Agus dan Irma mau menerima pendampingan buat kepentingan keberlangsungan hidup anak-anaknya. Tetapi, hasilnya tetap nihil.
Bupati Dedi sampai turun tangan buat meluluhkan hati kuarga miskin tersebut. Dia mengundang Agus dan Irma bersama tiga anaknya ke rumah dinasnya di jalan Gandanegara nomor 25 Purwakarta.
Dedi kemudian membujuk agar keduanya masuk dan aktif dalam program Keluarga Berencana untuk menekan populasi peranakannya. "Saya tawari masuk KB dan bantuan tunai Rp 25 juta, tetap., tetap, menolak," ujarnya.
Padahal, Dedi mengetahui bahwa rumah tinggal mereka sangat tidak layak huni dan wajib dibedah. "Ada-ada saja tingkah polah warga itu," katanya.
NANANG SUTISNA