TEMPO.CO, Blitar - Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini. Dia menolak pengambilalihan pengelolaan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) oleh pemerintah provinsi seperti yang diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014.
Dengan didampingi tim Biro Hukum Pemerintah Kota Blitar, Samanhudi mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor register 1556. Pendaftaran yang dilakukan pada pukul 08.28 WIB itu berisi permohonan judicial review UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
“Pemerintah Blitar menolak pengelolaan SMA dan SMK diambil alih provinsi,” kata Kasubag Humas dan Protokol Pemkot Blitar Gigih Mardana, Senin 7 Maret 2016.
Pengajuan gugatan ini, menurut Gigih, juga dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang hampir bersamaan dengan Pemkot Blitar pagi tadi pukul 09.00 WIB dengan nomor register 1557. Kedua pemerintah daerah ini sepakat menolak pengambilalihan pengelolaan SMA dan SMK oleh pemerintah provinsi sebagai bentuk pertanggungjawaban moral bupati/wali kota terhadap pendidikan di daerah.
Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, disebutkan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pendidikan setingkat SD/SM. Sedangkan pemerintah provinsi bertanggung jawab atas pendidikan setingkat SMA/SMK. Sementara pendidikan tinggi menjadi ranah dan tanggungjawab pemerintah pusat.
Ketentuan ini mulai diterapkan pemerintah pada 1 Januari 2017 setelah menilai beban yang ditanggung pemerintah daerah soal pendidikan terlalu berat dan harus dibagi dengan pemerintah provinsi. Hal ini mencakup pula kewenangan alokasi dana dari APBN dan APBD, tenaga pengajar, insfastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa.
Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar menganggap pemerintah daerah telah berinvestasi sangat besar terhadap pembangunan SMA/SMK baik berupa pembangunan infrastruktur maupun operasional sekolah.
Apalagi sejak lima tahun terakhir pemerintah Blitar telah mengucurkan anggaran tak sedikit untuk memberikan berbagai tunjangan kepada pelajar mulai jenjang SD hingga SMA seperti sepatu gratis, seragam gratis, buku gratis, alat tulis gratis, bus sekolah gratis, tas gratis, pembebasan pembayaran uang sekolah, hingga pemberian perangkat elektronik tablet gratis.
Karena itu pengambilalihan pengelolaan oleh pemerintah provinsi dinilai tidak tepat karena berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 23 tahuun 2014. “Ini bukan otoda sebenarnya karena masih ada kebijakan dan kewenangan yang diambil dari pemerintah daerah,” kata Samanhudi beberapa waktu lalu.
Karena itu dia dia mengajak seluruh kepala daerah di Indonesia untuk bersama-sama mengajukan judicial review atas materi UU Nomor 23 tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi.
HARI TRI WASONO