TEMPO.CO, Yogyakarta - Tamara melalui kerasnya hidup. Dulu, ia seorang waria yang menghabiskan sebagian waktunya di jalanan. Kini, ia banyak membuat karya seni. Instalasi seni berupa gaun panjang terbuat dari benang berwarna-warni menghiasi rumah Tamara. Tiga topeng dipasang di dinding belakang gaun panjang yang menyelimuti manekin itu. Tamara menciptakan karya instalasi dengan teknik. "Ini karya prematur. Ekspresiku atas bayangan diriku," kata Tamara kepada Tempo, Senin, 7 Maret 2016.
Tamara banyak terlibat dalam proyek seni kolaborasi. Tahun 2015, ia menampilkan karyanya, berkolaborasi dengan seniman dari sejumlah negara. Di antaranya, ia tampil dalam Goma Gallery di Brisbane "Asian Pacific Trienale #8", berkolaborasi dengan seniman Ming Wong, Shahmen Suku, dan Bradd Edward. Karya bersama itu berjudul Aku Akan Bertahan.
Tamara juga terlibat dalam acara seni di Gertrude Contemporary Art berjudul Ancient MSG. Ia berkolaborasi dengan empat seniman Australia dan tiga seniman Indonesia. Acara itu dikuratori oleh Kristi Monfries. Tamara juga berkesempatan tampil mengisi workshop di Melbourne Art Culture Victoria.
Tamara berkisah, ia mengamen di jalanan pada 2008-2012. Ketika mengamen, Tamara kerap mengalami kekerasan atau pelecehan secara verbal, misalnya diteriaki bencong saat ia mengamen di bus. Suatu hari, Tamara sedang berpuasa. Adzan magrib berkumandang dan ia minta air mineral kepada petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Bukan air mineral yang didapat, melainkan bentakan dari petugas.
Tamara mengatakan pemerintah selama ini belum serius mendampingi waria. Ia mencontohkan program pelatihan keterampilan menjahit hanya sebatas diberi alat dan pelatihan ala kadarnya. "Permasalahan sosial tidak akan selesai kalau pemerintah setengah-setengah," ujarnya.
Tamara mulai berkenalan dengan proyek-proyek seni sejak 2012. Ia bergabung dengan Makcik Project, pameran hasil proyek seni yang melibatkan komunitas waria. Acara itu juga merupakan program Parallel Event Biennale Jogja XII Equator #2. Kuratornya waktu itu ialah Grace Samboh.
Dari situ, Tamara memulai tertarik menciptakan karya seni berupa seni instalasi dan performance art. Ia, yang suka dengan karya-karya seni, banyak bergaul dengan seniman. Suatu waktu, Tamara, yang antusias dengan karya seni, meminta cat air dan kuas kepada seniman. Ia senang karena seniman itu tak keberatan. Tamara justru didukung untuk menggambar.
Tamara, yang tak punya latar belakang pendidikan formal seni, gigih berkarya. Ia banyak ditawari terlibat di sejumlah acara seni. Ia sadar sejumlah orang mencibirnya sebagai seniman dadakan. Tapi Tamara tak ciut nyali. Ia tak patah semangat dan terus kreatif bertahan hidup. Kawan-kawannya pun banyak yang mendukung.
Ia sangat percaya diri. Tamara tak pernah menganggap dirinya tak punya kemampuan, setara dengan orang lain. Ia percaya waria adalah manusia, setara dengan orang lain. Kepercayaan diri dan pikiran itulah yang membuatnya menjadi berkembang. "Jangan pernah merasa istimewa. Biasa saja. Setarakan dirimu dengan orang lain," ucap Tamara.
Tamara bercerita, ia mudah berbaur dengan masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggalnya sekarang. Tak pernah ada yang mempersoalkannya sebagai waria. Ia sering terlibat dalam kegiatan bersih-bersih kampung dan pertemuan-pertemuan rukun tetangga.
Tamara berharap bisa melanjutkan pendidikan. Ia berencana belajar di Universitas Terbuka. Tamara, yang lulusan sekolah menengah atas, kini sedang menyiapkan itu.
SHINTA MAHARANI