TEMPO.CO, Yogyakarta - Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menyebut Yogyakarta semakin kehilangan semangat toleransi. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah menjadi catatan buruk pelanggaran hak beribadah di daerah ini.
Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Agnes Dwi Rusjiyati, mengatakan kasus intoleransi pada 2015 hingga Maret 2016 paling banyak terjadi di Kabupaten Sleman. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus. (Baca juga: Setara Institute: Terorisme Bersumber dari Intoleransi)
Kabupaten Bantul menjadi wilayah kedua terjadinya intoleransi setelah Sleman. Contohnya adalah penutupan pondok pesantren Waria Al-Fattah di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, yang baru-baru ini terjadi. Setelah Bantul, Gunung Kidul menjadi daerah terjadinya kasus intoleransi. Misalnya ada kasus penyegelan dan penutupan paksa gereja. "Kasus intoleransi di Yogyakarta mulai terjadi tahun 2011. Dari tahun ke tahun angkanya naik," kata Agnes, Kamis, 10 Maret 2016.
Menurut dia, kelompok intoleran pada 2016 kerap melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap kegiatan diskusi tentang Syiah, tragedi 1965, dan diskusi lintas agama. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mencatat pada 2015 setidaknya terdapat 15 kasus intoleransi. Dari total kasus intoleransi, yang paling banyak adalah pemerintah tidak memberi izin pendirian rumah ibadah. Tidak adanya izin ini terjadi akibat desakan kelompok intoleran.
Agnes menegaskan, sesuai dengan konstitusi, setiap orang mempunyai hak untuk beribadah. Ini adalah hak mutlak setiap orang yang tidak bisa diganggu. Namun negara abai karena membiarkan kelompok intoleran melanggar hak setiap individu menjalankan aktivitas ibadah secara aman. "Negara harus bertanggung jawab menghentikan pelanggaran terhadap konstitusi itu," kata Agnes. (Baca juga: Surabaya Jadi Percontohan Kerukunan Beragama di Dunia)
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta mengecam penutupan Pondok Pesantren Waria Al-Fattah karena melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lembaga yang mendampingi pondok pesantren waria ini segera melapor pelanggaran hak untuk beribadah itu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Perempuan. "Kami akan mengirim pengaduan pelanggaran itu," kata Kepala Divisi Sipil dan Politik LBH Yogyakarta Aditya Arief Firmanto.
LBH Yogyakarta juga akan mengadukan Kepolisian Sektor Banguntapan, Bantul yang terkesan tidak serius menangani kasus intoleransi terhadap pondok pesantren waria. Pengaduan akan dikirim ke Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Kepolisian Nasional.
Pondok pesantren waria ditutup setelah belasan orang atas nama Front Jihad Islam (FJI) menggeruduk pesantren, Jumat, 19 Februari 2016. Dampaknya, aktivitas para santri pondok pesantren waria terhenti. Mereka tidak bisa mempelajari agama Islam dan beribadah di pondok pesantren itu. Pondok pesantren ini pun dipaksa pindah. Untuk memfasilitasi waria yang ingin belajar agama Islam dan beribadah, akan dibuat majelis taklim. Ini adalah organisasi pendidikan agama Islam nonformal atau di luar sekolah formal. (Baca juga: Peneliti LIPI: Ada Upaya Menggeser Ideologi dari Pancasila)
SHINTA MAHARANI