TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah DI Yogyakarta tengah mempersiapkan regulasi co-branding untuk bisa diterapkan pada usaha kecil mikro menengah (UMKM), jasa, maupun komunitas seni tradisi di Yogyakarta berupa peraturan gubernur.
Strategi pemasaran dengan menggunakan dua merek atau lebih (co-branding) itu diharapkan bisa melindungi, melestarikan, dan mendokumentasikan produk-produk asal Yogyakarta dengan prosedur yang mudah. Ada tiga logo co-branding yang telah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI), yaitu Jogja Mark, 100% Jogja, serta Jogja Tradition.
“Karena UMKM sering kesulitan mengurus pendaftaran mereknya dan mahal. Kalau co-branding difasilitasi pemda,” kata Konsultan HAKI Pendamping Pemda DIY, Budi Agus Riswandi, saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Jumat, 11 Maret 2016.
Perbedaannya, pengajuan co-branding dilakukan Pemda DIY atas nama Gubernur DIY. UMKM hanya tinggal mendaftarkan melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual.
Syaratnya, menurut Budi, antara lain pelaku usaha berdomisili di DIY, punya daftar perusahaan, punya standar operasional prosedur (SOP) untuk dinilai kelayakannya mendapat co-branding. Pelaku UMKM juga mencantumkan pernyataan tentang nama produk, asal bahan baku, serta proses produknya. Apabila ada ketidaksesuaian antara produk dan proses dengan pernyataan yang dicantumkan, maka ada sanksi.
“Jadi yang punya hak eksklusif adalah pemda DIY. UMKM akan mendapatkan lisensi merek,” kata Budi, yang juga Direktur Pusat Studi HAKI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dia mencontohkan salah satu produk dengan co-branding adalah kaos dengan merek Dagadu yang asli Yogya. Kemudian di samping logo Dagadu juga disematkan logo 100% Jogya.
Tiga logo co-branding tersebut mempunyai spesifikasi berbeda. Logo Jogja Mark untuk produk atau jasa yang berbahan baku dari luar, tetapi proses produksinya di Yogya. Logo 100% Jogja khusus produk dan jasa yang bahan dan pengolahannya dari Yogya, misalnya batik. Sedangkan Jogja Tradition untuk kreasi budaya yang berujud benda maupun tak benda, seperti tarian, keris, dab blankon.
“Yang unik memang Jogja Tradition karena ada simbol-simbol tradisi Yogya,” kata Budi.
Dia mencontohkan seni tradisi ketoprak. Komunitas ketoprak bisa mengajukan untuk menggunakan logo Jogja Tradition dengan menyertakan deskripsi karyanya.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta agar proses penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pergub tentang co-branding segera diselesaikan. Rencananya pertengahan 2016, ketiga logo tersebut sudah bisa diluncurkan.
“Saya akan mengonfirmasikan pendaftaran co-branding itu ke Dirjen HAKI agar prosesnya dipercepat,” kata Sultan.
PITO AGUSTIN RUDIANA